Minggu, 08 Januari 2017

Teori Paradigma Thomas Khun









 Konsep Paradigma Thomas Khun
A.      Pendahuluan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya ilmu? Untuk apa ilmu itu dipergunakan?.[1] Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terkait dengan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
filsafat ilmu  dalam  memahami beberapa kerangka teori keilmuwan dan juga paradigma keilmuwan Pada perkembangan,  terdapat beberapa filsuf yang terkenal karena hasil pemikiran dan karyanya berpengaruh terhadap perkembangan suatu ilmu, Salah satu tokoh filsafat  yang terkenal yakni Thomas Kuhn.
Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolut dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara Open-Endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. Tidak dapat juga dipungkiri ilmu yang terspesialisasi itu semakin menambah sekat-sekat antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain, sehingga muncul arogansi ilmu yang satu terhadap ilmu lain. Tugas filsafat diantaranya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan.[2]

B.       Biografi Thomas S. Khun dan Karyanya
Thomas S. Khun lahir pada 18 juli 1922 di Cicinnati, Ohio Amerika Serikat. Pada tahun 1949 ia memperoleh gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di Harvard University. Di tempat yang sama ia kemudian berkerja sebagai asisten dalam bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu. Pada tahun 1956, khun menerima tawaran kerja di Universitas California, Berkeley sebagai dosen dalam sejarah sains. Tahun 1964, ia mendapat anugrah gelar Guru Besar (professor) dari Princeton University dalam bidang filsafat dan sejarah sains. Selanjutnya pada tahun 1983 ia dianugerahi gelar professor untuk kesekian kalinya, kali ini dari Massachustts Insitute of University. Thomas Khun menderita penyakit kanker selama beberapa tahun di akhir masa hidupnya, yang akhirnya meninggal dunia pada hari senin 17 juni 1996 dalam usia 73 tahnun.[3]
 Karya Khun cukup banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuwan pada umumnya adalah The Structure of Scientific Revolution, sebuah buku yang terbit pada tahun 1962 oleh University of Chicago Press. Buku itu sempat terjual lebih dari satu juta copy dalam 16 bahasa dan direkomendasikan menjadi bacaan dalam kursus-kursus atau peengajaran yang berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi, riset, sejarah, dan filsafat sains.[4]

C.      Latar Belakang Pemikiran Khun Tentang Ilmu dan Perkembangannya
Latar belakang pemikiran  Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya, merupakan respon terhadap adanya  pandangan Positivisme dan Popper.  Proses verifikasi dan konfirmasi-eksperimentasi dari “bahasa ilmiah”, dalam pandangan Vienna Circle, merupakan langkah dan proses perkembangan ilmu, sekaligus sebagai garis pembeda antara apa yang disebut ilmu dengan yang bukan ilmu. Sementara pada Popper, proses perkembangan ilmu-yang menurutnya harus berkemungkinan mengandung salah-itu , adalah dengan proses yang disebut falsifikasi (proses eksperimentasi untuk membuktikan salah satu dari teori ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori).[5]
Dalam hal ini, Kuhn menolak pandangan  di atas (pemikiran tentang proses verifikasi dan konfirmasi-eksperimentasi, teori Falsifikasi dan refutsi milik Popper).
 Thomas Samuel Kuhn mula-mula meniti karirnya sebagai ahli fisika, tetapi kemudian mendalami sejarah ilmu. Lewat tulisannya, The Structure of Scientific Revolutions, ia menjadi seorang penganjur yang gigih yang berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal segala penyelidikan adalah berguru pada sejarah ilmu.  
Kuhn memandang ilmu dari  perspektif sejarah, dalam  arti sejarah  ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Bedanya, Khun lebih mengekspolorasi tema-tema yang lebih besar, misalnya apa hakikat ilmu, baik dalam praktek yang nyata maupun dalam analisis konkrit dan empiris.   Jika Popper menggunakan sejarah ilmu sebagai bukti untuk mempertahankan pendapatnya, Khun justru menggunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikanya. Baginya, fisafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.[6]
Kuhn memakai istilah paradigma untuk mengambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu. Fokus pemikiran Kuhn menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku pada apa yang disebut paradigm ilmu.
Secara umum  paradigma dapat diartikan sebagai perangkat kepercyaan atau keyakinan dasar yang menuntut seseorang dalam bertindak dalam kehidupoan sehari-hari. Pengertian ini sejalan dengan Guba yang dikonsepsikan oleh Thomas Khun sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan ilmiah.[7] 

D.      Teori Paradigma Thomas S. Khun
Sebutan paradigma pada masa sebelumnya belum terlalu nampak mencolok namun setelah Thomas Khun memperkenalkannya melalui bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution”, University of Chicago Press, Chicago 1962,[8] menjadi begitu terkenal yang membicarakan tentang Filsafat Sains.
Dalam karyanya yang berjudul The Structure of Scienteific Revolutions yang terbit pada tahun 1962 yang kemudian pada tahun 1970 dilengkapi dengan Postscirpt yang memuat modifikasi pandangannya serta tanggapan terhadap kritik, Kuhn mendekati pengertian ilmu secara internal yang kemudian berbeda dengan pemikiran Popper.[9] Di dalam bukunya itu ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para memecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Khun memakai istilah “paradigma” untuk menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki dalam ilmu. dengan memakai istilah “paradigma”, ia bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktek ilmiyah nyata, termasuk didalamnya hokum, teori, aplikasi, dan instrumentasi, yang menyediakan meodel-model, yang menjadi sumber konsistensi dan tradisi riset ilmiah tertentu.[10]
Paradigma menetapkan kriteria untuk memilih masalah yang dapat diasumsikan mempunyai solusi. Dengan demikian, maka paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi penelitian yang normal. Namun, menurut Kuhn, tanpa adanya aturan ini, paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian. Jadi, ilmu normal sebenarnya tidak terlalu memerlukan aturan atau metode yang standar (yang disepakati oleh komunitas ilmiah). Tanpa aturan dan metode yang baku, ilmu normal dapat berjalan. Ini berarti bahwa tiap ilmuwan dapat menciptakan aturan dan metode penelitian dan pengkajian sendiri sesuai dengan keperluan, sepanjang aturan dan metode ini diderivasi dari paradigma yang berlaku. Tetapi, jika paradigmanya belum mapan, maka perangkat aturan akan diperlukan atau menjadi penting.[11]
 Dalam buku tersebut, Kuhn mengemukakan pandangan tentang ilmu yang berputar pada lima tahapan yang kemudian dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:[12]
Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas olmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahapan ini, para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbingnya. Selama menjalanka aktivitas ilmiah, para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya. Inilah yang dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap Kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu norma.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma  tangingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.

E.       Penutup
Dalam perkembangan zamannya suatu paradigma akan mengalami suatu perubahan yang sangat mempengaruhi dalam sebuah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan. Thomas Kuhn menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, dimana para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya secara terperinci dan mendalam, karena disibukkan dengan hal-hal yang mendasar. Pada Sains normal “memberi arti secara tegas penelitian yang berdasarkan satu atau lebih melewati prestasi ilmiah, prestasi bahwa komunitas ilmiah tertentu mengakui untuk sementara waktu sebagai menyediakan dasar untuk berlatih lebih lanjut”. Dalam tahapan ini, seorang ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini, ilmuan bisa menjumpai berbagai fenomena yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Inilah yang disebut dengan anomali.
Sebuah paradigma membimbing seluruh kelompok riset, dan inilah kriteria yang paling jelas menyatakan bidang ilmu. Berbagai transformasi paradigma adalah bagian dari revolusi sains, sedangkan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain melalui revolusi adalah pengembangan yang biasa dan sains yang telah matang.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Cet. I (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta, Belukar,2010), cet keenam
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial,(Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yoga, 2001)
Sardar, Ziauddin, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, (Yogyakarta, Jendela, 2002)
Shidarta, Bernard Arief, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung,  Mandar Maju, 2000)
____________________, Apakah Filsafat Dan Filsafat Ilmu Itu, Cet. I (Bandung, Pustaka Sutra, 2008)
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar, Cet-4, (Jakarta,  Bumi Aksara, 2009)
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), cet. Xxi.




[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 2010), cet. Xxi, p. 33.
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Cet. I,  (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), p. 3
[3] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta, Belukar,2010), cet keenam, p. 125
[4] Ibid,p. 126
[5] Ibid,p. 126
[6] Ibid,p. 127
[7] Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial,(Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yoga, 2001), p. 33
[8] Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, (Yogyakarta, Jendela, 2002), p. 30-31.    
[9] Bernard Arief Shidarta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Bandung,  Mandar Maju, 2000), p. 89
[10] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu......, p. 127
[11] B Arif Sidharta, Apakah Filsafat Dan Filsafat Ilmu Itu, Cet. I (Bandung, Pustaka Sutra, 2008), p. 94-95
[12] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar, Cet-4, (Jakarta,  Bumi Aksara, 2009), p. 70

Selasa, 03 Januari 2017

عقائد الشيعة الإثنتي عشرية






الشيعة الاثنتي عشرة
تعريف الشيعة
 الشيعة اللغة: الأنصار والأتباع، فإن الكلمة المذكورة تطلق على كل من يوالي عليا وأهل بيته. قال الفيروز آبادي: وشيعة الرجل، بالكسر، أتباعه وأنصاره، والفرقة على حدة، ويقع على الواحد، والاثنين، والجمع المذكر والمؤنث.[1] فلم يكن استعمال هذه اللفظية في العصر الأول من الإسلام إلا في معناه الأصلي والحقيق هذا.[2]
        أما في العرف التاريخي والاصطلاحي، رأي الشهرستانى: الشيعة هم الذين شايعوا عليا على الخصوص، وقالوا بإمامته، وخلافته: نصا ووصية، إما جليا وإما خفيا.[3]
الشيعة الاثنتي عشرة الإمامية
        الشيعة الاثنتي عشرة الإمامية جماعة من غلاة الشيعة. وغلاة الشيعة هي عدة فرق تطرفت في التشجيع حتى خرجت عن ربقة الإسلام بمزاعم مفكرة ومعتقدات باطلة.[4] ويلقب(الشيعة الاثنتي عشرة) بهذا اللقب لأنهم يرون الإمامة لعلي وأولاده.
        أو هم الذين قالوا بإمامة اثني عشر من آل البيت، ويسمون بـ(الاثني عشرية) لإن الأئمة عندهم اثني عشر،[5] ,وهؤلاء الأئمة يتسلسلون على النحو التالي:[6]
اللقب
الكنية
الوفاة
المولد
الاسم
م


المرتضي
أبو الحسن
40 هـ
23 ق هـ
 علي بن أبي طالب
1

المجتبي، وقيل الزكي
أبو محمد
50  هـ
2 هـ
الحسن بن علي  بن أبي طالب
2

الشهيد
أبو عبد لله
61  هـ
3 هـ
الحسين بن علي  بن أبي طالب
3

السجاد وقيل زين العابدين
أبو محمد
95  هـ
38 هـ
علي بن الحسين بن علي بن أبي طالب
4

الباقر
أبو جعفر
114  هـ
57 هـ
محمد بن علي بن الحسين
5

الصادق
أبو عبد لله
148  هـ
83 هـ
جعفر بن محمد بن علي
6

الكاظم
أبو إبراهيم
183  هـ
128 هـ
موسي بن جعفر بن الصادق
7

الرضا
أبو الحسن
203  هـ
148 هـ
علي بن موسي  بين جعفر
8

الجواد
أبو جعفر
220  هـ
195هـ
محمد بن علي بن موسي
9

الهادي
أبو الحسن
254  هـ
212 هـ
علي بن محمد بن علي
10

العسكري
أبو محمد
260  هـ
232 هـ
الحسن بن علي بن محمد
11

المهدي وقيل الحجة القائم المنتظر
أبو القاسم

-
محمد بن الحسن العسكري
12


ويعتقدون أنه لابد للناس من إمام وينتظرون إمام سيخرج في آخر الزمان. وهذه الطائفة منتشرة في إيران والعراق وسوريا ولبنان، ومنهم جماعات متفرقة في أنحاء العالم ولهم كتب ومؤلفات كثيرة من أهمها: كتاب الوافي في ثلاثة مجلدات كبيرة، جمعت كثيرا مما في كتبهم الأخري.[7]
بعض عقائد الشيعة الإثنتي عشرة[8]
1.   الإمامة عند الشيعة هي الزعامة في أمور الدين والدنيا وهي نيابة عن الرسول في حفظ شريعته من الزيادة وإقامة الحدود ودرأ الفساد ونحوها من فوائدها اللازمة على الوجه الشرعي والقاونون الإلهي. وهم فسروا سورة النساء آية 59 أن أمر بطاعة أولي الأمر على سبيل الجزم والاطلاق بصيغة الجمع ولم يقيده بزمان فهو يفيد عصمة أولي الأمر ووجود من تلزم طاعته كطاعة الله وطاعة رسوله، ولا يكون ذلك إلا الإمام المعصوم.[9] فالإمامة كالنبوة من المناصب الإلهية التي تحتاج إلى النصب من الله تعالي سوي أن اللإمام لايوحي إليه كما يوحي إلي النبي.[10]
2.   اعتبروا الإمامة ركنا من أركان الإيمان ومن أنكره كفر. ونقل الشيخ المفيد الإجماع على ذلك بقوله: "اتفقت الإمامية على أن من أنكر إمامة أحد من الأئمة فهو كافر ضال مستحق للخلود في النار". قال ابن بابويه القمي الملقب بالصدوق: "من جحد إمامة أمير المؤمنين على بن أبى طالب والأئمة من بعده أنه كمن جحد نبوة جميع الأنبياء.
3.   وبالغوا في مدح أئمتهم حتى أوصلوهم إلى مرتبة الربوبية، يقول الخميني: الأئمة الذين لا نتصور فيهم السهو أو الغفلة نعتقد فيهم الإحاطة بكل ما فيه مصلحة  المسلمين" الحكومة الإسلامية.
4.   وزعموا بأن الأئمة يخلقون ويرزقون ويعلمون الغيب ويسيرون الكون، وأنهم أفضل من الملائكة والأنبياء، وأنهم الواسطة بين الله وخلقه. واعتقدوا بأحقية علي بالنبوة والخلافة، وأنه لا دولة ولا حكم إلا في علي وبنيه وذريته. وزعموا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:" لعن الله من خالف عليا، علي إمام، الخليفة بعدي. من تقدم على علي فقد تقدم عليا، ومن فارقه فقد فارقني". أمالي  الصدوق.
5.   ويعتقد أكثرهم بتحريف القرآن الكريم، وأن الصحابة قد بدلوا وغيروا فيه، ويزعمون أن المصحف الحقيقي الذي سيحضره المهدي المنتظر آخر الزمان هو ثلاثة أضعاف المصحف الحالي المتداول بين أيدينا الآن، ويؤمنون بأن للقرآن معاني باطنة تخالف الظاهر.
6.   ويتعاملون مع المسلمين بالتقية، وهي  إظهار خلاف العقيدة الباطنية لدفع السوء عنهم.[11] أو أن يظهر الشيعي خلاف مذهبه تودداً للمسلمين وإخفاء لبعض شعائرهم كي لا ينفر منه المسلمون. أو يتكلم المرء بغير ما يعتقد مدارة لما يبطنون،[12] ويقول شيخهم الملقب بالصدوق: "واعتقادنا في التقية أنها واجبة من تركها كان بمنزلة من ترك الصلاة..." رسالة الاعتقادات. ويقول إمامهم الخميني: "فتارة تكون التقية خوفاً وأخرى مداراة.. والمراد بالمداراة أن يكون المطلوب فيها نفس شمل الكلمة ووحدتها بتحبيب المخالفين وجر مودتهم من غير خوف.
7.   ويؤمنون بأن يوم عاشوراء الذي استشهد فيه الحسين بن علي رضي الله عنهما أفضل من يوم عرفة. وقد وجه إلى شيخهم محمد الحسني الشيرازي هذا السؤال: "يقال إن أرض كربلاء أفضل من أرض مكة، والسجدة على التربة الحسينية أفضل من السجدة على أرض  الحرم.. هل هذا صحيح؟ فأجاب: نعم" فقه العقائد.
8.   تعتقد الإثني عشرية أن الولاية العامة على المسلمين منوطة بأشخاص معينين بأسمائهم وعددهم، وأن الله اختارهم كما يختار أنبياءه.. وهؤلاء الأئمة أمرهم كأمر الله، وعصمتهم كعصمة رسل الله، وفضلهم فوق أنبياء الله. وترتب على هذا المعتقد - عند الشيعة - عدم الحاجة إلى الاجتهاد في عصر الأئمة، لأنهم كفوا أتباعهم مؤونة البحث والاجتهاد. وآخر هؤلاء الأئمة حسب اعتقادهم غائب منذ سنة ٢٦٠ ه، ولذا فإن الإثني عشرية تحرم أن يلي أحد منصبه في الخلافة حتى يخرج من مخبئه، وقد جاء في رواياتهم قولهم: "كل راية ترفع قبل أن يقوم القائم، فصاحبها طاغوت وإن كان يدعو إلى الحق.
9.   العصمة: ذهب الشيعة إلي القول بعصمة الأئمة، فلا يخطؤون عمدا ولا سهوا ولا نسيبا طول حياتهم. واستدلوا به قول تعالى: ( إني جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال لاينال عهدي الظالمين). وقالوا تدل هذه الآية أن الإمام لا يكون إلا معصوما عن القبائح، لأن الله نفي أن ينال عهده الذي هو الإمامة ظالم، ومن ليس بمعصوم فقد يكون ظالما إما لنفسه وإما لغيره. ثم قالوا: إن الله عصم اثنين فلم يسجد لصنم قط وهما محمد بن عبد الله وعلي بن أبى طالب، فلأحدهما  كانت الرسالة وللآخر كانت الرسالة، أما الخلفاء الثلاثة فلم يعصموا وهم ظالمون ليسوا أهلا للإمامة.[13]
ويستدل أيضا بقول الله ( إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا. الأحزاب 33). بناء على ذلك يعتقدون أن الإمام أعلي من بعض الوجوه من الأنبياء، لأنهم معرضون للخطأ، ولم يرد في القرآن ما ينزههم عنه، أما الأئمة فمعصومون بنص القرآن.[14]
10.                      الغيبة: وآخر هؤلاء الأئمة حسب اعتقادهم غائب منذ سنة ٢٦٠ ه، ولذا فإن الإثني عشرية تحرم أن يلي أحد منصبه في الخلافة حتى يخرج من مخبئه، وقد جاء في رواياتهم قولهم: "كل راية ترفع قبل أن يقوم القائم، فصاحبها طاغوت وإن كان يدعو  إلى الحق. وقالوا أيضا بعدم الحاجة إلى الاجتهاد في عصر الأئمة، لأنهم كفوا أتباعهم مؤونة البحث والاجتهاد.[15]
تيارات الشيعة الاثني عشرية :
الشيعة الإثني عشرية تتشكل من تيارين رئيسيين هما :
1.   التيار الأصولي : وهو التيار الغالب والسائد، وهو الذي يقبل القياس والاجتهاد، تأثرا بأهل السنة في علم أصول الفقه.
2.   التيار الإخباري : وهم الذين يرفضون الاعتماد على غير الروايات الواردة عن الأئمة، ويرون أن كل الروايات صحيحة، ويرفضون القياس.






المصادر والمراجع
السالوس، أ.د. علي أحمد، مع الشيعة الاثني عشرية في الأصول والفروع، (قطر: جامعة قطر، دون السنة)
السعودي، ربيع بن محمد، الشيعة الإمامية الإثني عشرية في ميزان الإسلام، (القاهرة: مكتبة ابن تيمية، 1414هـ)
القزويني، محمد الكاظمي، الشيعة في عقائدهم وأحكامهم، (باكستان: جامعة التعليمات الإسلامية، دون السنة)
الكسوانى، أسامة شحادة وهيثم، الموسوعة الشاملة للفرق المعاصرة في العالم، (القاهرة: مكتبة القاهرة، 1428ه-2007م)
 الجيزاوي، أشرف، عقائد الشيعة الاثني عشرية الرافضة، (مصر: دلر اليقين للنشر والتوزيع، 1430هـ-2009م)
 جاد الحق، جاد الحق علي، فتاوى كبار علماء الأزهار الشريف في الشيعة، (القاهرة: دار اليسر، 1432هـ-2011م)
ظهير، إحسان إلى، الشيعة والتشيع، (باكشتان: إدرة ترجمان السنة، 1404ه-1984م)
الفيومى، الدكتور محمد إبراهيم، لسان العرب (القاهرة: دار الفكر العربي، 1423ه)


[1]  الدكتور محمد إبراهيم الفيومى، لسان العرب (القاهرة: دار الفكر العربي، 1423ه-2002م)، ص 159
[2]  أ. إحسان إلى ظهير، الشيعة والتشيع، (باكشتان: إدرة ترجمان السنة، 1404ه-1984م)، ص 13
[3]  الفيومى، المرجع السابق، ص 160
[4]  جاد الحق علي جاد الحق، فتاوى كبار علماء الأزهار الشريف في الشيعة، (القاهرة: دار اليسر، 1432هـ-2011م)، ص 3480



[5]  جاد الحق، المرجع السابق، ص 22
[6]  أشرف الجيزاوي، عقائد الشيعة الاثني عشرية الرافضة، (مصر: دلر اليقين للنشر والتوزيع، 1430هـ-2009م)، ص 34
[7]  المرجع السابق، ص 22
           [8] أسامة شحادة وهيثم الكسوانى، الموسوعة الشاملة للفرق المعاصرة في العالم، (القاهرة: مكتبة القاهرة، 1428ه-2007م)، ص 25-31
[9]  محمد الكاظمي القزويني، الشيعة في عقائدهم وأحكامهم، (باكستان: جامعة التعليمات الإسلامية، دون السنة)، ص 39
[10]  نفس المرجع، ص 41
[11]  جاد الحق، المرجع السابق، ص 24
[12]  ربيع بن محمد السعودي، الشيعة الإمامية الإثني عشرية في ميزان الإسلام، (القاهرة: مكتبة ابن تيمية، 1414هـ)، ص 80
[13]  أ.د. علي أحمد السالوس، مع الشيعة الاثني عشرية في الأصول والفروع، (قطر: جامعة قطر، دون السنة)، ص 91
[14]  جاد الحق، المرجع السابق، ص 27
[15]  الكسوانى، المرجع السابق، ص 31