Rabu, 21 Desember 2016

Corak-corak penafsiran Al-quran




CORAK-CORAK PENAFSIRAN AL-QURAN
Oleh : Ashraf, S.Ud

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW[1] dan ia merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut antara lain terletak pada susunan bahasa dalam Al-Qur’an yang unik dan menarik, dan pada saat yang bersamaan mengandung makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya. Oleh karena itu para Ulama berusaha untuk memahami Al-quran dengan menggunakan pemahaman mereka, walaupun dapat dipahami tentunya tingkat pemahaman mereka berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi itu sendiri. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam memahami Al-Qur’an, sahabat Nabi sekalipun, yaitu yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur  bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu. Oleh karena itu perbedaan tersebut memunculkan permasalahan yang sering dibahas yaitu masalah corak-corak penafsiran.
Berikut ini penulis akan berusaha menjelaskan dan membahas maksud dan latar belakang dari perkembangan  corak-corak penafsiran yang mana itu mempengaruhi lahirnya macam-macam kitab tafsir.

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Tafsir
Tafsir atau At-tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain:
1.      Menjelaskan, menerangkan (الإيضاح والتبين), dan tafsir dengan arti ini di ambil dalam ayat Al-quran surat Al-Furqan ayat ke 33, yang artinya sebaik-baiknya penjelasan[2].
2.      Menurut Al-raghib “الفسر والسفر” mempunyai makna yang berdekatan seperti lafaznya yang hampir sama atau berdekatan, akan tetapi الفسر untuk menunjuk makna yang rasional sedangkan الفسر untuk membantu mata dalam member penglihatan[3].
3.      Keterangan sesuatu الشرح, yakni perkembangan dan perluasan dari u8ngkapan-ungkapan yang masih sangat umum  dan global, sehingga menjadi lebih terperinci dan mudah dipahami dan dihayati[4].
4.      التفسيرة, yakni (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk mendeteksi/mengetahui segala penyakit yang didertia seorang pasien). Kalau Tafsirah  adalah alat kedokteran yang menyingkap penyakit dari seorang pasien, maka Tafsir dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat Al-quran[5].
Sedangkan secara istilah (terminologis), para ulama’ memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan titik pusat perhatiannya nama dari segi arah dan tujuannya sama. adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut:
1.      Menurut al-Zarkasyi: “ Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hokum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada didalamnya”[6].
2.      Menurut Syaikh al-Jurjani dalam al-Ta’riifat: “ pada asalnya tafsir berarti membuka dan melahirkan dalam pengertian syara’, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat: dari segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafaz yang menunjukkan kepadanya secara terang[7].    
3.      Menurut al-Kilby yang mana titik perhatiannya sama dengan zarkasyi adalah: “Tafsir ialah menerangkan Al-quran, menjelaskan makna-maknanya serta memperjelaskan apa yang sesungguhnya dikhendaki oleh nashnya, isyarat-isyaratnya maupun rahasia-rahasianya yang terdalam”[8].
4.      Menurut Abdul azhim az-Zarqani: “ tafsir dalam pengertian istilah ialah ilmu yang didalamnya dibahas tentang Al-quranul karim, dari segi dalalahnya (yang berkenaan dengan pemahaman makna) menurut yang dikehandaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia biasa”[9].

Dari beberapa ta’rif tersebut diatas dapat dilihat, bahwa rumusan-rumusan itu satu dengan yang lainnya dalam titik perhatiannya yakni “menjelaskan”. Ada yang titik perhatiannya pada lafaz, ada yang pada ayat dan ada pula yang langsung pada kitabullah (al-Quran). Perbedaan tersebut bukan dalam arti satu sama lain tidak dapat dipertemukan, bahkan satu sama lain saling melengkapi.
Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah ditegaskan, bahwa tafsir ialah: “ Usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Quran atau ayat-ayatnya atau lafaz-lafaznya, agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dikhayati, dan diamalkan, demi tercapainya kebahagian hidup dunia dan Akhirat[10].”

B.  Perkembangan Tafsir di Indonesia
Usaha menafsirkan al-Quran dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh para ulama Islam Indonesia, dari pertama kali Islam masuk ke Indonesia sampai sekarang. Dan untuk perkembangkan tafsir di Indonesia para ulama mengklarifikasikannya menjadi 4 periode, yaitu:
1.      Abad ke VII-XV (Klasik), Studi al-Qur’an pada periode pertama Islam di Nusantara belum bisa dikatakan sebagai sebuah tafsir, meskipun pada masa ini kitab-kitab tafsir karya para ulama dunia telah bermunculan, akan tetapi untuk skala Indonesia, penafsiran al-Qur’an masih berada pada wilayah penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat praktis dan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa ajarannya Sebagaimana diketahui bahwa para ulama dan penyebar Islam melihat kondisi nusantara pada saat itu, di mana yang dibutuhkan hanya sebatas penafisran ayat-ayat untuk kebutuhan dakwah Islamiyah.
2.      Abad ke-15 hingga abad ke-17 (abad pertengahan), Sebenarnya sebelum Abd Rauf al-Singkily menulis tafsirnya yang berjudul Tarjuman al-Mustafid, sudah ada ulama yang menulis dalam bidang tafsir meskipun tidak dalam bentuk yang sempurna 30 juz. Seorang penulis yang bernama Hamzah al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 melakukan penerjemahan sejumlah ayat al-Qur’an yang terkait dengan tasawuf dalam bahasa Melayu yang indah.[11]
3.      Abad ke 19 (abad pra modern), Periode ini dapat dikatakan dimulai sejak akhirabad ke 19 sampai saat ini. Penganut agama islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam telah merasakan agama mereke dihinakan, dan menjadi alat permainan, serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.[12] perkembangan tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena beberepa faktor, diantaranya pengkajian tafsir al-Qur’an selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami kitab yang ada, sehingga merasa cukup dengan kitab-kitab Arab atau melayu yang sudah ada. Di samping itu, adanya tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut, sehingga mayoritas ulama mengungsi ke pelosok desa dan mendirikan pesantren-pesantren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus tempat konsentrasi perjuangan. Ulama tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah ditulis sebelumnya.[13]
Maka terkenalah modernisasi Islam yang dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam Jamaluddin Al-Afghani dan murid beliau syekh Muhammah Abduh. Di Pakistan dan di India  dipelopori oleh Sayid Ahmad Khan. Gerakan modernisasi ini tidak hanya di Mesir dan Pakistan saja, tetapi telah menjalar pula di Indonesia, yang dipelopori oleh H.O.S. Cokroaminito dengan Sarekat Islamnya, kemudian K.H. Ahmad Dahlan yang terkenal dengan perkumpulan Muhammadiyahnya dan K.H. Hasyim Asy’ari yan terkenal dengan perkumpulan Nahdhatul Ulama dan A. Hasan dengan Persatuan Islamnya.[14]
4.      Abad ke-20 (abad modern), Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan al-Qur’an dalam bentuk juz per juz, bahkan seluruh isi al-Qur’an mulai bermunculan. Kondisi penerjemahan al-Qur’an semakin kondisif setelah terjadinya sumpah pemuda yang menyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsir Al-Furqân misalnya adalah tafsir pertama yang diterbitkan.[15]

C.  Corak-corak Penafsiran
Dalam kamus bahasa Indonesia kata corak mempunyai beberapa makna, di antaranya Corak berarti bunga atau gambar (ada yang berwarna-warna) pada kain (tenunan, anyaman dsb), juga bermakna berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat (faham, macam, bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر الحديث) tentang corak-corak penafsiran di abad modern.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir[16].
Berikut akan di jelaskan beberapa corak-corak mufassir dalam menafsirkan Al-quranul Karim.

1.    Tafsir bi al-Ma’stur (riwayat)
 Tafsir jenis ini biasa disebut dengan tafsir bi al-riwayah atau tafsir bi al-manqul. Para ulama telah membuat definisi yang beraneka ragamtentang pengertian tafsir jenis ini, yang secara redaksional memiliki perbedaan, namun dari masing-masing definisi tersebut memiliki pengertian yang sama.
 Menurut Abdul azhim az-Zarqani tafsir bi al-Ma’stur ialah: “ Sesuatu yang terdapat dalam nash al-Quran, sunnah Rasulullah SAW, atau kalam Sahabat sebagai penjelasan terhadap apa yang di kehandaki Allah SWT dari kitab-Nya.”  Sedangkan menurut al-Zarkasyi tafsir bi al-Ma’stur ialah: “Sesuatu yang bersumber dari nash al-Quran sendiri yang berfungsi menjelaskan,. Memerinci terhadap sebagian ayat lainnya dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh Rasulullah, para Sahabat, dan Para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-quran, sebagaimana yang di kehandaki oleh allah[17].”
 Dari definisi ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ma’stur adalah cara menafsirkan ayat Al-quran dengan ayat Al-quran, menafsirkan ayat al-Quran dengan sunnah, menafsirkan ayat Al-quran dengan pendapat sahabat, dan menafsirkan ayat Al-quran dengan perkataan tabi’in[18]. Tipe penafsiran yang pertama dan kedua tidak ada keraguan bagi kita untuk menerimanya. Sedangkan yang ketiga dapat dihukumi dengan hal sebagai berikut:[19]
a.        Apabila tafsir sahabat tersebut merujuk kepada asbabun nuzul dan tidak ada indikasi nalar (ar-ra’yu) mereka didalamnya, maka hukumnya adalah Marfu’ kepada Rasulullah SAW. Dan ia wajib untuk diambil dan tidak boleh di tolak.
b.       Apabila ada indikasi nalar (ar-ra’yu) mereka didalamnya walaupun sedikit, maka hukumnya Mauquf selama ia tidak mensanadkannya  kepada Rasulullah.
Dalam menghukumi ini, para ulama’ berbeda pendapat, sebagian kelompok berpendapat “ tafsir ini tidak boleh diambil, karna tidak marfu’. Dan sahabat apabila berijtihad, ia sama seperti mujtahid yang lain, terkadang ijtihad mereka benar dan kadangkala ijtihad meeka salah”.
Sebagian lagi berpendapat “ tafsir ini wajib untuk diambil, dikarnakan mungkin mereka pernah mendengar hal tersebut dari Rasulullah, dan walaupun mereka menafsirkan dengan nalar (ar-ra’yu) mereka, maka itu dihukumi dengan benar (shawaab). Karena mereka adalah manusia yang mempunyai  pengetahuan dan pengertian yang lebih tentang kitabullah dibandingkan dengan manusia lainnya.
Corak tafsir bi al-ma’tsur ini merupakann corak tafsir yang terbaik. Sebab dalam prosesnya para mufassir mendasarkannya pada ayat Al-quran dan Riwayat dari Rasulullah. Sedangkan riwayat sahabat dan tabi’in, harus diadakan penelitian terhadap keshahihan dan kedhoifannya tersebut. Di antara sebab-sebab kedhaifan suatu riwayat dan dapat menyebabkan kedhaifan tafsir bi al-ma’tsur antara lain:[20]
Pertama, banyaknya pemalsuan hadis (katsrah al-wadh’u fi al-hadis). Perkembangan pemalsuan dalam tafsir bi al-ma’tsur bersamaan dengan perkembangan pemalsuan dalam hadis, karna pada awalnya keduanya, pada masa awal perkembangannya masih bercampuk aduk antara yang satu dengan yang lainnya dan belum menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Pemalsuan yang terjadi baik dalam bidang tafsir maupun bidang hadis Nampak pertama kali pada tahun 41 H, yaitu ketika kaum muslimin berbeda  pendapat sekitar masalah politik yang mengakibatkan perpecahan belah menjadi beberapa golongan seperti Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur serta ahli bid’ah, masing-masing kelompok saling mempertahankan eksistensinya dengan cara membuat riwayat-riwayat hadis yang dipalsukan guna mendukung madzhabnya masing-masing.
Kedua, masuknya cerita israiliyyat. Menurut az-Dzhabi, masuknya cerita israiliyyat ini sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat. Meskipun demikian usaha mereka dalam proses tersebut masih dalam taraf kewajaran dan sangat hati-hati. Cerita israiliyyat yang diambil oleh para mufassir dan dimasukkannya kedalam tafsir bi al-ma’tsur memiliki pengaruh negative, karena keadaan yang demikian tidak hanya terbatas pada masa sahabat saja, tapi juga berlanjut dari masa ke masa, yang pada akhirnya menjadi cerita-cerita khayal yang dibuat-buat.
Ketiga, pembuangan sanad. Para sahabat selalu berhati-hati dalam dan sangat ketat dalam meriwayat suatu hadis yang akan mereka gunakan sebagai sumber penafsiran al-quran. Pada masa tabi’in mulai tampak adanya pemalsuan dan kedustaan. Oleh karena itu mereka tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disertai dengan isnadnya. Namun generasi setelahnya tidak lagi memperhatikannya dan tidak pula mengadakan penyeleksian terhadap terhadap keshahihan suatu hadis.
Di antara beberapa kitab tafsir bi al-ma’tsur yang  telah dibukukan dan sangat terkenal adalah:[21] Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya Ibnu Jarir al-Thabari, Bahru al-Ulum karya Abi Laits al-Samargandiy, Al-Kasyaf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Quran karya Abu Ishaq as-Tsa’labi, Ma’alimu al-Tanzil karya abi Muhammad al-Husaini al-Baghawiy, al-Muharar al-Wajiz Tafsir al-Kitab al-‘Aziz karya Ibnu ‘Atiyyah al-Andalusiy, Tafsir Al-Quran al-‘Adzim karya Abi al-Fida’ al-hafidh Ibnu Katsir, al-Jawahiru al-Hasan fi Tafsir al-Quran karya ‘Abd al-Rahman al-Tsa’labi, Asbab al-Nuzul karya Imam al-wahidiy, al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abi Ja’far al-Nuhas, dan lain-lainnya.
2.    Tafsir bi al-Ra’yi (nalar)
Secara terminoligis pengertian tafsir bi al-ra’yi sebagaimana yang didefinisikan oleh al-Dzhabi: “suatu hasil penafsiran al-Quran dengan menggunakan ijtihad setelah seorang mufassir memahami terhadap gaya bahasa arab beserta aspek-aspeknya, memahami lafazh-lafazh bahasa Arab dari segi dalalahnya, termasuk di dalamnya memahami syiair orang Arab Jahiliyah, asbab an-nuzuk, nasikh-mansukh, dan perang-perangkat lainnya.[22]” dari difinisi ini dapat dipahami bahwa yang di maksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah suatu metode penafsiran alquran yang pola pemahamannya dilakukan melalui ijtihad setelah seorang mufassir mengetahui beberapa sayrat.[23]
Berdasarkan beberapa hal diatas, maka dalam corak tafsir bi al-ra’yi muncul dua macam tafsir, yaitu tafsir terpuji (Mahmud) dan tafsir tercela (madzmum).[24] Tafsir terpuji (Mahmud), yaitu apabila seorang mufssir dalam penafsirannya telah memenuhi syarat-syarat dimaksud. Sedangkan  tafsir tercela (madzmum), yaitu menafdirkan ayat-ayat al-Quran yang tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan berdasarkan hawa nafsu.[25]
Dalam corak ini ada dua kelompok yang berbeda pendapat yang kedua-duanya mempunyai argument yang kuat. Pertama, kelompok yang secara tegas menolak keberadaan tafsir bi al-ra’yi, dengan mengemukakan argument sebagai berikut[26]:
a.     Tafsir jenis ini merupakan perkataan yang tentang Allah yang tidak didasari ilmu pengetahuan, dan perkataan yang tentang Allah yang tidak didasari ilmu pengetahuan adalah dilarang.
b.    Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam al-turmudzi “ barang siapa yang mengatakan sesuatu tentangal-Quran dengan berdasarkan ra’yunya sendiri, dan ternyata benar, maka yang demikian itu tetap merupakan kesalahn.(HR. Turmudzi).
c.     Ada beberapa riwayat yang datangnya dari salaf saleh, baik para sahabat maupun tabi’in yang bersikap membatasi diri dalam menafsirkan al-Quran dengan ra’yu.
Kedua, kelompok yang membolehkan tafsir bi al-ra’yi, dengan mengemukakan argument sebagai berikut:[27]
a.       Dalam al-Quran banyak dijumpai beberapa ayat, baik secara langsung maupun tidak langsung menganjurkan untuk menggunakan kekuatan akal guna melakukan intidhar, tafakkur, tadzabbur, dan lain sebagainya. Hai ini diantaranya disinyalir dalam ayat berikut QS. Muhammad/47:24 dll.
b.      Kedua bahwa Rasulullah SAW pernah mendo’akan kepada Ibnu Abbas sebagai berikut: “Ya Alllah, berilah pehaman yang mendalam mengenai agama kepada Ibnu Abbas, dan ajarkanlah Ta’wil.
c.       Kalau seandainya tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan, mengapa ijtihad diperbolehkan? Disisi lain, kalau tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan pasti banyak sekali hokum-hukum yang terdapat dalam al-Quran yang tidak tergali, karena Rasulullah Saw sendiri tidak menafsirkan setiap ayat yang terdapat dalam al-Quran. Demikian juga,  seorang mujtahid akan diberi pahala meskipun salah.
d.      Bahwa para sahabat sendiri menafsirkan al-Quran dengan penafsiran yang berbeda, dan tidak semua yang mereka katakan bersumber dari nabi SAW, karena nabi sendiri tidak menjelaskan semua makana yang terkandung dalam al-Quran.
Dintara kitab tafsir bi al-ra’yi al-mahmud: Mafatihu al-gaybi karya Fahkru ar-Razi, Anwaru al-Tanzil wa Asrari al-Ta’wil karya al-Qadhi al-Baydhawi, al-Bahru al-Muhitt karya Abu Hayyan al-Aluysi, Ghraaibu al-Quran karya wa Raghaaibu al-Furqan karya Nizamu alDin al-Niisabury, Tafsiru al-Jalailaini karya Jalaluddin al-Mahalli wa Jalaluddin al-Syauti, Ruuhu al-Ma’ani karya Syihabu al-Din al-Alusyi.[28] 
Sedangkan kitab tafsir bi al-ra’yi al- madzmum dibagi menjadi empat:[29] Pertama, Tafsir Mu’tazilah: Tanziihu al-Quran ‘an al-Ma’taa’in karya al-Qadhi ‘abdu al-Jabbar, al-Kasyaf ‘an haqaiqi al-Tanzil karya al-zhamahsyari. Kedua, tafsir Syiah Imam 12 belas: Majma’I al-Bayan li ‘Ulumi al-Quran karya al-Fadhil bin al-Hasan at-Tharbusyi, al-Syafi fi Tafsiri al-Quran karya Malla mahsan al-Kasyi. Ketiga Tafsir Syi’ah Zindiyyah: Fathu al-Qadhir karya Muhammad Syaukani, Tafsir ‘Atiyyah bin Muhammad an-Nijrani al-ziidyy. Keempat Tafsir Khawarij: Hamyan al-Zaadi ‘ila Daari al-Ma’arif karya Muhammad Yusuf Itfayas, Tafsir Hud bin Muhkam al-Hawary salah satu Ulama abad ketuga.

3.    Tafsir Falsafi (filsafat)[30]
Corak tafsir sufi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tafsir sufi al-nazhari dan tafsri sufi al-isyari, yang keduanya mempunyai karakteristik sendiri.
Untuk tafsir yang pertama banyak digeluti oleh para penganut tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazhari) yang didasarkan kepada atas hasil pembahasan dan studi, serta mencoba meneliti dan mengkaji al-Quran berdasarkan teori madzhab dan untuk melegimitasi terhadap kebenaran ajaran mereka. Dalam tafsirnya tampak sekali pengaruh-pengaruh tasawuf teoritis yang didasarkan pemikiran-pemikiran ilmiyah para tokoh sufi dan kemudian dicarikan justifikasinya.
Mereka berusaha menta’wilkan ayat-ayat al-Quran dengan pendekatan batini semata, dan mengabaikan terhadap makna tekstualnya. Metode penafsiran yang demikian ini tidak dapat dibenarkan, karena ibarat orang mengaku sudah sampai didalam rumah sementara ia tidak melewati pintunya.
Muhy al-Din Ibn ‘Arabi merupakan salah seorang yang dianggap sebagai guru besar dalam aliran tafsir al-sufi an-nazhari, berikut contoh penafsirannya dalam ayat QS. Al-Isra’/17:23, yang mana ia mengabaikan segi tektual ayat, dan lebih mementingkan segi batiniyahnya, yaitu penafsiran yang berkaitan dengan paham Wihdat al-Wujud:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan (qadha) supaya kamu jangan menyembah selain Dia.
Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa para ulma’a yang cenderung melihat pernyataan tekstual dalam al-Quran memberikan arti lafaz qadha dengan “memerintahkan” tetapi saya mengartikan dengan “memutuskan untuk membuka”. Lebih lanjut, ketika ia menafsirkan ayat-ayat tersebut mengatakan bahwa orang-orang musyrik yang menyembah berhala dan patung-patung  merupakan cara mereka untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dan karena itulah Allah menjadikan benda-benda yang terlihat itu sebagai ganti-Nya. Menurut mereka patung-patung sesembahan itu dimaksudkan sebagai penjelmaan “bentuk” Tuhan. Karena itu Allah memenuhi kebutuhan mereka pada saat mereka menggunakan perantara berupa benda-benda atau patung-patung untuk berhubungan denga-Nya.
 Sedangkan yang kedua, disandarkan kepada para penganut tasawwuf praktis (al-tashawwuf al-‘amali), dimana para tokoh ini menamakan corak tafsirnya dengan tafsir al-Isyari, atau disebut juga denga tafsir al-Faidhi. Menurut kaum sufi bahwa hakikat al-Quran tidak hanya terbatas dengan pengertian bersifat lahiriyah saja, tetapi tersirat pula makna batin, yang justru merupakan makna terpenting. Dari pemaparan tersebut dapat sipahami bahwa al-Quran mengandung kandungan lahir dan batin. Kandungan lahir adalah yang bisa dipahami berdasarkan aturan bahasa arab semata-mata, sedangkan kandungan batin adalah apa yang dikehandaki oleh Allah dibalik lafaz-lafaz dan susunan kalimat bahasa arab itu.
Para ulama berselilih dengan keberadaan tafsir ini. Ada yang melarang  seperti Imam Al-Zarkasti dan Imam al-Suyuthi, dan ada pula yang memperbolehkannya seperti al-Taftazani dan Mahmud Basuni. Para jumhur ulama telah menentukan beberapa syarat untuk diterimanya tafsir al-Isyari:
a.       Tidak boleh bertentangan dengan makna dzahir dari susunan kalimat ayat-ayat al-Quran.
b.      Harus didukung dengan kesyaksian syara’ yang menguatkan.
c.       Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
d.      Tidak mengandung penyelewengan dari susunan kalimat.
e.       Tidak dikatakan secara pasti, bahwa makna itulah yang dimaksud oleh Allah dalam ayat itu.
Dintara kitab tafsir al-Isyari: Tafsir al-Quran al-‘adzim karya Sahlu al-tastari, haqaiqu al-Tafsir karya Abu ‘Abdi al-Rahman al-Salma, ‘Araisu al-Bayan fi Haqaiqi al-Quran karya karya Abu Muhammad al-Syirazi.[31]

4.    Tafsir ‘Ilmi (ilmiah)
Maksud dari tafsir ilmy adalah suatu jihad atau usaha keras seorang mufassir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyyah  (al-ayat al-kauniyyah) dalam al-Quran dengan sains modern yang bertujuan memperliahatkan kemukjizatan al-Quran. Alasan utama yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini, disamping banyaknya ayat-ayat  al-Quran yang secara eksplisit maupun implicit yang memerintah manusia untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan dalam al-Quran dalam sains modern, penafsiran al-Quran tradisional kurang mampu memberikan pemahaman yang memuaskan terhadap pesan tuhan yang saintifik.[32]
Corak tafsir inipun tidak luput dari berdebatan para ulama. Ada yang menolak dan yang memperbolehkannya. Pada dasarnya penolakan terhadap tafsir ini, lebih dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kitab suci al-Quran diturunkan oleh Allah kepada Muhammad, bukanlah untuk menerangkankan tentang teori-teori ilmiyah, problem-problem seni serta aneka ragam ilmu pengetahuan, tetapi diturunkan kepada ummat manusi lebih berfungsi sebagai kitab hidayah, islah, dan tasyri’.[33]

5.    Tafsir Fiqhi (Fiqh)
Tafsir fiqh adalah corak penafsiran al-Quran yang menitik beratkan bahasanya dan tinjauannya pada aspek hokum dari al-Quran. Corak ini muncul bersamaan dengan munculnya tafsir bilmat’sur, dan keberadaannya pun sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW. Semasa zaman nabi, ketika mereka menghadapi kesulitan dengan permasalahan yang mereka hadapi , khususnya masalah hokum, mereka langsung menanyakannya kepada rasulullah dan beliaupun langsung menjawabnya. Jawaban Rasulullah ini disatu pihak merupakan tafsir bi al-ma’tsur, dan dilain pihak merupakan tafsir al-fiqh.[34]
Namun setelah Rasulullah wafat, ternyata banyak persoalan baru yang muncul dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Sementara itu, kalau mereka tidak menemukan jawaban dalam al-Quran atas persoalan tersebut, mereka juga melakukan ijtihad sendiri untuk menetapkan hokum-hukum yang berkaitan dengan hal tersebut. Dan hasil ijtihad ini yang kemudian disebut tafsir fiqh.  Dan diantara mereka jarang sekali terjadi perbedaan pendapat ketika menghadapi persoalan hokum yang sifatnya kontradiktif.
Hukum islam yang mereka gali (istinbat) dari al-Quran itu akhirnya tersebar dan berkembang, serta dihafal oleh generasi berikutnya secara terus menerus sampai datangnya era penghimpunan dan penyusunan. Pada era inilah lahirlah orang yang memperhatikan dan mengkaji produk-produk istinbath itu. Dan dari sinilah pula lahir madzhab-madzhab yang berbeda dikalangan islam. Dan mereka membuat dasar hukum masing-masing dalam mazdhabnya, ini bukan karna fanatic dengan madzhab tetapi karena setiap ahli fiqh berpegang pada apa yang dipandangnya benar.[35]
Dan diantara kitab tafsir fiqh yang lahir dari mu’tazilah al-kasysaf karya al-zamakhsyari, dari Hanafiyyah Ruh al-ma’aniy karya alAlusy, dari Malikiyyah al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurthubi, dan dari Syafi’iah al-Tafsir al-Kabir (mafatih al-Ghaib) karya al-Fakhr al-Din al-Raziy.

6.    Tafsir al-Falsafy[36]
Tafsir al-Falsafy adalah penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan pendekatan-pendekatan filsofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat dan ayat-ayat al-Quran maupun berusaha menolak teori-teori filsafat yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaaan, dan adanya gerakan penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa arab pada masa khalifah Abasiyyah.
Dalam menghadapi ini kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok:
a.       Kelompok yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku yang bersal dari filosof tersebut. Hal ini dikarenakan ada sebagian yang bertentang dengan agama. Diantaranya Hujjah al-Islam,Imam Hamid al-Gzhali, Imam Fakhru al-Din al-Razi yang menulis tafsir untuk menolak paham mereka, yaitu Mafatihul al-Ghaib.
b.      Kelompok yang menerima filsafat bahkan mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat tidak bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada larangan menerimanya. Dan mereka berusaha memadukan antara al-Quran dan Filsafat serta menghilangkan pertentangan diantara mereka. Diantaranya Filsuf Ibnu Rusyd yang menulis buku Tahafut al-tahafut sebagai sangahan dari buku Tahafut al-falasifah karya al-Ghazali.
Berkaitan dengan golongan ini Imam al-Dzhabi menanggapinya dengan berikut ini: “kami tidak pernah mendengar seorang filosof yang mengagung-agungkan filsafat mengarang sebuah kitab tafsir al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku filsafat mereka”.

7.    Tafsir al-Adabi al-Ijtima’iy (sastra)[37]
Tafsir al-Adabi al-Ijtima’iy (sastra) adalah suatu cabang yang muncul mada masa modern ini, yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Quran dengan cara yang pertama dan utama mengungkapkan ungkapan-ungkapan al-Quran secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Quran tersebut senga gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemidaian seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Quran yang dikaji dengan kenyataan social dan system budaya yang ada.
Jenis tafsir ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan para mufassir yang memandang bahwa selama ini penafsiran al-Quran hanya didominasi oleh tafsir yang berorientasi pada nahwu, bahasa, san perbedaan madzhab dan lain sebagainya, sehingga jarang sekali menyentuh inti dari al-Quran sebagai sasaran dan tujuan akhir.
Secara operasinal seorang mufassir jenis ini tidak mau terjebak pada kajian pengertian bahasa yang rumit, istilah-istilah ilmu teknologi, kecuali jika dirasakan sangat dibutuhkan. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana dapat menyajikan misi al-Quran kepada pembaca, dan mereka berusaha mengaitkan nash-nash dengan realitas kehidupan masyrakat tradisional dan system peradaban yang secara fungsional dapat memevahkan persoalan ummat.
Dintara kitab dengan corak ini: Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh yang dihimpun oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Quran karya Syekh Ahmad al Maraghi, Tafsir al-Quran al-Karim karya Syekh Mahmud Syaltut, Tafsir al-Wadhih karya Mahmud Hijazy.

D.  Penutup
Dari pembahasan singkat diatas, bisa kita angkat bahwa al-Quran adalah kitab yang Mu’jizah, yang mana darinyalah lahir disiplin-disiplin ilmu, dan salah satunya adalah tafsir.
Kita juga bisa menyimpulkan, bahwa latarbelakang keilmuan, keadaan, dan madzhab seorang Mufassir akan melahirkan sebuah corak yang berbeda. Yang telah dibuktikan dengan beberapa corak-corak Tafsir diatas.
DAFTAR PUSTAKA

al-Dzahabi, Muhammad Husain, ‘Ilmu at-Tafsir, (al-Qaahirah: Daaru al-Ma’arif).
az-Zarqani, Muhammad Abdul azhim, Manahilul Irfan Fii Ulumul Qur’an, jilid II (Beirut: Daarul Kitab al-‘Arabiy, 1415 H- 1995 M), cetakan I.
al-Qattaan, Manna’u, Mabahis Fii ‘Ulumu Al-quran, (Al-qahiroh: Maktabah Wahbah, 2000 M), Cetakan Ketiga.
Baidan, Nashruddin, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003)
Hasan dan Nawawi, Drs. Rif’at Syauqi dan Drs. M. Ali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), cetakan II.
Nor Ichwan, Mohammad, Tafsir Ilmiy, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2004 H), Cetakan I.
Riddel, Petter G, dengan editor Kusmana dan Syamsuri , Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2004)









[1] Manna’u al-Qattaan, Mabahis Fii ‘Ulumu Al-quran, (Al-qahiroh: Maktabah Wahbah, 2000 M), Cetakan Ketiga, p.  20
[2] Muhammad Husain al-Zahabi, ‘Ilmu at-Tafsir, (al-Qaahirah: Daaru al-Ma’arif), p. 5
[3] Al-Qatthan, op.cit., p. 324
[4] Drs. Rif’at Syauqi Nawawi dan Drs. M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), cetakan II, p. 139
[5] Ibid, p. 139
[6] Husain al-Zahabi, op.cit., p. 6
[7] Hasan dan Nawawi, op.cit., p. 141
[8] Ibid, p. 141-142
[9] Muhammad Abdul azhim az-Zarqani, Manahilul Irfan Fii Ulumul Qur’an, jilid II (Beirut: Daarul Kitab al-‘Arabiy, 1415 H- 1995 M), cetakan I, p.  3
[10] Hasan dan Nawawi, op.cit., p 142-143
[11] Petter G. Riddel, dengan editor Kusmana dan Syamsuri , Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2004), p. 210
[12] Al-Quran dan Terjemahnya, p. 29
[13] Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003) hal. 79
[14] Al-Quran dan Terjemahnya, p. 29
[15] Baidan, , op.cit., p. 62
[17] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir Ilmiy, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2004 H), Cetakan I, p. 78
[18] Ibid,
[19] Husain al-Zahabi, op.cit., p. 26
[20] Nor Ichwan, op.cit., p. 84 - 88
[21] Ibid,p. 89 - 90
[22] Husain al-Zahabi, op.cit., p. 48
[23] Nor Ichwan, op.cit., p. 90
[24] Husain al-Zahabi, op.cit., p. 64
[25] Nor Ichwan, op.cit., p. 92
[26] Ibid,p. 94 - 96
[27] Ibid,p. 97 - 98
[28] Husain al-Zahabi, op.cit., p. 66 - 67
[29] Ibid,p. 67 - 69
[30] Nor Ichwan, op.cit., p. 102 - 111
[31] Husain al-Zahabi, op.cit., p. 72-73
[32] Nor Ichwan, op.cit., p. 127
[33] Ibid,p. 138
[34] Ibid,p. 113
[35] Ibid,p. 115
[36] Ibid,p. 115-116
[37] Ibid,p. 116-117