CORAK-CORAK PENAFSIRAN AL-QURAN
Oleh : Ashraf, S.Ud
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW[1]
dan ia merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus
petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam
keistimewaan. Keistimewaan tersebut antara lain terletak pada susunan bahasa
dalam Al-Qur’an yang unik dan menarik, dan pada saat yang bersamaan mengandung
makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya. Oleh karena
itu para Ulama berusaha untuk memahami Al-quran dengan menggunakan pemahaman
mereka, walaupun dapat dipahami tentunya tingkat pemahaman mereka berbeda-beda
akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,
sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau
maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi itu sendiri. Hal inilah
yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam memahami Al-Qur’an,
sahabat Nabi sekalipun, yaitu yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu,
mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang
berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud
firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu. Oleh karena itu
perbedaan tersebut memunculkan permasalahan yang sering dibahas yaitu masalah
corak-corak penafsiran.
Berikut ini penulis akan berusaha menjelaskan dan membahas
maksud dan latar belakang dari perkembangan
corak-corak penafsiran yang mana itu mempengaruhi lahirnya macam-macam
kitab tafsir.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Tafsir atau At-tafsir menurut bahasa mengandung arti antara
lain:
1. Menjelaskan, menerangkan (الإيضاح
والتبين),
dan tafsir dengan arti ini di ambil dalam ayat Al-quran surat Al-Furqan ayat ke
33, yang artinya sebaik-baiknya penjelasan[2].
2. Menurut Al-raghib “الفسر والسفر” mempunyai makna yang berdekatan seperti
lafaznya yang hampir sama atau berdekatan, akan tetapi الفسر untuk menunjuk makna yang rasional sedangkan الفسر untuk membantu mata dalam member penglihatan[3].
3. Keterangan sesuatu الشرح,
yakni perkembangan dan perluasan dari u8ngkapan-ungkapan yang masih sangat
umum dan global, sehingga menjadi lebih
terperinci dan mudah dipahami dan dihayati[4].
4. التفسيرة, yakni (alat-alat kedokteran yang khusus
dipergunakan untuk mendeteksi/mengetahui segala penyakit yang didertia seorang
pasien). Kalau Tafsirah adalah alat kedokteran yang menyingkap
penyakit dari seorang pasien, maka Tafsir dapat mengeluarkan makna yang
tersimpan dalam kandungan ayat-ayat Al-quran[5].
Sedangkan secara istilah (terminologis), para ulama’ memberikan
rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan titik pusat perhatiannya nama dari
segi arah dan tujuannya sama. adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut:
1. Menurut al-Zarkasyi: “ Tafsir ialah
ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hokum-hukum
yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada didalamnya”[6].
2. Menurut Syaikh al-Jurjani dalam
al-Ta’riifat: “ pada asalnya tafsir berarti membuka dan melahirkan dalam
pengertian syara’, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat: dari segala
persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafaz yang
menunjukkan kepadanya secara terang[7].
3. Menurut al-Kilby yang mana titik
perhatiannya sama dengan zarkasyi adalah: “Tafsir ialah menerangkan Al-quran,
menjelaskan makna-maknanya serta memperjelaskan apa yang sesungguhnya
dikhendaki oleh nashnya, isyarat-isyaratnya maupun rahasia-rahasianya yang
terdalam”[8].
4. Menurut Abdul azhim az-Zarqani: “
tafsir dalam pengertian istilah ialah ilmu yang didalamnya dibahas tentang
Al-quranul karim, dari segi dalalahnya (yang berkenaan dengan pemahaman makna)
menurut yang dikehandaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia
biasa”[9].
Dari beberapa ta’rif tersebut diatas dapat dilihat, bahwa
rumusan-rumusan itu satu dengan yang lainnya dalam titik perhatiannya yakni “menjelaskan”. Ada yang titik
perhatiannya pada lafaz, ada yang
pada ayat dan ada pula yang langsung
pada kitabullah (al-Quran). Perbedaan
tersebut bukan dalam arti satu sama lain tidak dapat dipertemukan, bahkan satu
sama lain saling melengkapi.
Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah
ditegaskan, bahwa tafsir ialah: “ Usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Quran
atau ayat-ayatnya atau lafaz-lafaznya, agar yang tidak jelas menjadi jelas,
yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami,
sehingga Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami,
dikhayati, dan diamalkan, demi tercapainya kebahagian hidup dunia dan Akhirat[10].”
B. Perkembangan Tafsir di Indonesia
Usaha menafsirkan al-Quran dalam bahasa Indonesia telah
dilakukan oleh para ulama Islam Indonesia, dari pertama kali Islam masuk ke
Indonesia sampai sekarang. Dan untuk perkembangkan tafsir di Indonesia para
ulama mengklarifikasikannya menjadi 4 periode, yaitu:
1.
Abad ke VII-XV (Klasik), Studi al-Qur’an pada periode
pertama Islam di Nusantara belum bisa dikatakan sebagai sebuah tafsir, meskipun
pada masa ini kitab-kitab tafsir karya para ulama dunia telah bermunculan, akan
tetapi untuk skala Indonesia, penafsiran al-Qur’an masih berada pada wilayah
penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat praktis dan penjelasan ayat-ayat
al-Qur’an berdasarkan pemahaman pembawa ajarannya Sebagaimana diketahui bahwa
para ulama dan penyebar Islam melihat kondisi nusantara pada saat itu, di mana
yang dibutuhkan hanya sebatas penafisran ayat-ayat untuk kebutuhan dakwah
Islamiyah.
2.
Abad ke-15 hingga abad ke-17 (abad pertengahan), Sebenarnya
sebelum Abd Rauf al-Singkily menulis tafsirnya yang berjudul Tarjuman
al-Mustafid, sudah ada ulama yang menulis dalam bidang tafsir meskipun tidak
dalam bentuk yang sempurna 30 juz. Seorang penulis yang bernama Hamzah
al-Fansuri yang hidup antara tahun 1550-1599 melakukan penerjemahan sejumlah
ayat al-Qur’an yang terkait dengan tasawuf dalam bahasa Melayu yang indah.[11]
3.
Abad ke 19 (abad pra modern), Periode ini dapat dikatakan dimulai sejak
akhirabad ke 19 sampai saat ini. Penganut agama islam setelah sekian lama
ditindas dan dijajah bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana
umat Islam telah merasakan agama mereke dihinakan, dan menjadi alat permainan,
serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.[12] perkembangan
tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal
itu terjadi karena beberepa faktor, diantaranya pengkajian tafsir al-Qur’an
selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami kitab yang ada,
sehingga merasa cukup dengan kitab-kitab Arab atau melayu yang sudah ada. Di
samping itu, adanya tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada
abad tersebut, sehingga mayoritas ulama mengungsi ke pelosok desa dan
mendirikan pesantren-pesantren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus tempat
konsentrasi perjuangan. Ulama tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi
lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah ditulis sebelumnya.[13]
Maka terkenalah modernisasi Islam yang
dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam Jamaluddin Al-Afghani dan murid
beliau syekh Muhammah Abduh. Di Pakistan dan di India dipelopori oleh Sayid Ahmad Khan. Gerakan
modernisasi ini tidak hanya di Mesir dan Pakistan saja, tetapi telah menjalar
pula di Indonesia, yang dipelopori oleh H.O.S. Cokroaminito dengan Sarekat
Islamnya, kemudian K.H. Ahmad Dahlan yang terkenal dengan perkumpulan
Muhammadiyahnya dan K.H. Hasyim Asy’ari yan terkenal dengan perkumpulan
Nahdhatul Ulama dan A. Hasan dengan Persatuan Islamnya.[14]
4.
Abad ke-20 (abad modern), Sejak akhir tahun 1920-an dan
seterusnya, sejumlah terjemahan al-Qur’an dalam bentuk juz per juz, bahkan
seluruh isi al-Qur’an mulai bermunculan. Kondisi penerjemahan al-Qur’an semakin
kondisif setelah terjadinya sumpah pemuda yang menyatakan bahwa bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsir Al-Furqân misalnya adalah tafsir
pertama yang diterbitkan.[15]
C. Corak-corak Penafsiran
Dalam kamus bahasa Indonesia kata
corak mempunyai beberapa makna, di antaranya Corak berarti bunga atau gambar
(ada yang berwarna-warna) pada kain (tenunan, anyaman dsb), juga bermakna
berjenis jenis warna pada warna dasar, juga berarti sifat (faham, macam,
bentuk) tertentu. Kata corak dalam literatur sejarah tafsir, biasanya digunakan
sebagai terjemahan dari kata al-laun, bahasa Arab yang berarti warna. Istilah
ini pula di gunakan Azzahaby dalam kitabnya At-Tafsir Wa-al-Mufassirun. Berikut
potongan ulasan beliau (وعن ألوان التفسير فى هذا العصر
الحديث) tentang corak-corak penafsiran di abad modern.
Jadi, corak tafsir adalah nuansa
atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu
bentuk ekspresi intelektual seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan
maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide
tertentu mendominasi sebuah karya tafsir[16].
Berikut akan di jelaskan beberapa
corak-corak mufassir dalam menafsirkan Al-quranul Karim.
1.
Tafsir bi al-Ma’stur (riwayat)
Tafsir jenis ini biasa disebut
dengan tafsir bi al-riwayah atau tafsir bi al-manqul. Para ulama telah membuat
definisi yang beraneka ragamtentang pengertian tafsir jenis ini, yang secara
redaksional memiliki perbedaan, namun dari masing-masing definisi tersebut
memiliki pengertian yang sama.
Menurut Abdul azhim az-Zarqani tafsir bi
al-Ma’stur ialah: “ Sesuatu yang terdapat dalam nash al-Quran, sunnah
Rasulullah SAW, atau kalam Sahabat sebagai penjelasan terhadap apa yang di
kehandaki Allah SWT dari kitab-Nya.”
Sedangkan menurut al-Zarkasyi tafsir bi al-Ma’stur ialah: “Sesuatu yang
bersumber dari nash al-Quran sendiri yang berfungsi menjelaskan,. Memerinci
terhadap sebagian ayat lainnya dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan
oleh Rasulullah, para Sahabat, dan Para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan
terhadap nash-nash al-quran, sebagaimana yang di kehandaki oleh allah[17].”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan tafsir
bi al-Ma’stur adalah cara menafsirkan ayat Al-quran dengan ayat Al-quran,
menafsirkan ayat al-Quran dengan sunnah, menafsirkan ayat Al-quran dengan
pendapat sahabat, dan menafsirkan ayat Al-quran dengan perkataan tabi’in[18].
Tipe penafsiran yang pertama dan kedua tidak ada keraguan bagi kita untuk
menerimanya. Sedangkan yang ketiga dapat dihukumi dengan hal sebagai berikut:[19]
a.
Apabila tafsir
sahabat tersebut merujuk kepada asbabun nuzul dan tidak ada indikasi nalar
(ar-ra’yu) mereka didalamnya, maka hukumnya adalah Marfu’ kepada Rasulullah
SAW. Dan ia wajib untuk diambil dan tidak boleh di tolak.
b.
Apabila ada indikasi
nalar (ar-ra’yu) mereka didalamnya walaupun sedikit, maka hukumnya Mauquf
selama ia tidak mensanadkannya kepada
Rasulullah.
Dalam menghukumi ini, para ulama’ berbeda pendapat, sebagian
kelompok berpendapat “ tafsir ini tidak boleh diambil, karna tidak marfu’. Dan
sahabat apabila berijtihad, ia sama seperti mujtahid yang lain, terkadang
ijtihad mereka benar dan kadangkala ijtihad meeka salah”.
Sebagian lagi berpendapat “ tafsir ini wajib untuk diambil,
dikarnakan mungkin mereka pernah mendengar hal tersebut dari Rasulullah, dan
walaupun mereka menafsirkan dengan nalar (ar-ra’yu) mereka, maka itu dihukumi
dengan benar (shawaab). Karena mereka adalah manusia yang mempunyai pengetahuan dan pengertian yang lebih tentang
kitabullah dibandingkan dengan manusia lainnya.
Corak
tafsir bi al-ma’tsur ini merupakann corak tafsir yang terbaik. Sebab dalam
prosesnya para mufassir mendasarkannya pada ayat Al-quran dan Riwayat dari
Rasulullah. Sedangkan riwayat sahabat dan tabi’in, harus diadakan penelitian
terhadap keshahihan dan kedhoifannya tersebut. Di antara sebab-sebab kedhaifan
suatu riwayat dan dapat menyebabkan kedhaifan tafsir bi al-ma’tsur antara lain:[20]
Pertama,
banyaknya pemalsuan hadis (katsrah al-wadh’u fi al-hadis). Perkembangan
pemalsuan dalam tafsir bi al-ma’tsur bersamaan dengan perkembangan pemalsuan
dalam hadis, karna pada awalnya keduanya, pada masa awal perkembangannya masih
bercampuk aduk antara yang satu dengan yang lainnya dan belum menjadi suatu
ilmu yang berdiri sendiri.
Pemalsuan
yang terjadi baik dalam bidang tafsir maupun bidang hadis Nampak pertama kali
pada tahun 41 H, yaitu ketika kaum muslimin berbeda pendapat sekitar masalah politik yang
mengakibatkan perpecahan belah menjadi beberapa golongan seperti Syi’ah,
Khawarij, dan Jumhur serta ahli bid’ah, masing-masing kelompok saling
mempertahankan eksistensinya dengan cara membuat riwayat-riwayat hadis yang
dipalsukan guna mendukung madzhabnya masing-masing.
Kedua,
masuknya cerita israiliyyat. Menurut az-Dzhabi, masuknya cerita israiliyyat ini
sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat. Meskipun demikian usaha mereka dalam
proses tersebut masih dalam taraf kewajaran dan sangat hati-hati. Cerita
israiliyyat yang diambil oleh para mufassir dan dimasukkannya kedalam tafsir bi
al-ma’tsur memiliki pengaruh negative, karena keadaan yang demikian tidak hanya
terbatas pada masa sahabat saja, tapi juga berlanjut dari masa ke masa, yang
pada akhirnya menjadi cerita-cerita khayal yang dibuat-buat.
Ketiga,
pembuangan sanad. Para sahabat selalu berhati-hati dalam dan sangat ketat dalam
meriwayat suatu hadis yang akan mereka gunakan sebagai sumber penafsiran
al-quran. Pada masa tabi’in mulai tampak adanya pemalsuan dan kedustaan. Oleh
karena itu mereka tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disertai
dengan isnadnya. Namun generasi setelahnya tidak lagi memperhatikannya dan
tidak pula mengadakan penyeleksian terhadap terhadap keshahihan suatu hadis.
Di antara
beberapa kitab tafsir bi al-ma’tsur yang
telah dibukukan dan sangat terkenal adalah:[21]
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya Ibnu Jarir al-Thabari, Bahru al-Ulum
karya Abi Laits al-Samargandiy, Al-Kasyaf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Quran karya
Abu Ishaq as-Tsa’labi, Ma’alimu al-Tanzil karya abi Muhammad al-Husaini
al-Baghawiy, al-Muharar al-Wajiz Tafsir al-Kitab al-‘Aziz karya Ibnu ‘Atiyyah
al-Andalusiy, Tafsir Al-Quran al-‘Adzim karya Abi al-Fida’ al-hafidh Ibnu
Katsir, al-Jawahiru al-Hasan fi Tafsir al-Quran karya ‘Abd al-Rahman
al-Tsa’labi, Asbab al-Nuzul karya Imam al-wahidiy, al-Nasikh wa al-Mansukh
karya Abi Ja’far al-Nuhas, dan lain-lainnya.
2.
Tafsir bi al-Ra’yi (nalar)
Secara terminoligis pengertian
tafsir bi al-ra’yi sebagaimana yang didefinisikan oleh al-Dzhabi: “suatu hasil
penafsiran al-Quran dengan menggunakan ijtihad setelah seorang mufassir
memahami terhadap gaya bahasa arab beserta aspek-aspeknya, memahami
lafazh-lafazh bahasa Arab dari segi dalalahnya, termasuk di dalamnya memahami
syiair orang Arab Jahiliyah, asbab an-nuzuk, nasikh-mansukh, dan
perang-perangkat lainnya.[22]” dari
difinisi ini dapat dipahami bahwa yang di maksud dengan tafsir bi al-ra’yi
adalah suatu metode penafsiran alquran yang pola pemahamannya dilakukan melalui
ijtihad setelah seorang mufassir mengetahui beberapa sayrat.[23]
Berdasarkan beberapa hal diatas,
maka dalam corak tafsir bi al-ra’yi muncul dua macam tafsir, yaitu tafsir
terpuji (Mahmud) dan tafsir tercela (madzmum).[24] Tafsir
terpuji (Mahmud), yaitu apabila seorang mufssir dalam penafsirannya telah
memenuhi syarat-syarat dimaksud. Sedangkan
tafsir tercela (madzmum), yaitu menafdirkan ayat-ayat al-Quran yang
tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan berdasarkan hawa nafsu.[25]
Dalam corak ini ada dua kelompok yang
berbeda pendapat yang kedua-duanya mempunyai argument yang kuat. Pertama, kelompok yang secara tegas menolak
keberadaan tafsir bi al-ra’yi, dengan mengemukakan argument sebagai berikut[26]:
a.
Tafsir jenis ini merupakan
perkataan yang tentang Allah yang tidak didasari ilmu pengetahuan, dan
perkataan yang tentang Allah yang tidak didasari ilmu pengetahuan adalah
dilarang.
b.
Berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh imam al-turmudzi “ barang siapa yang mengatakan sesuatu
tentangal-Quran dengan berdasarkan ra’yunya sendiri, dan ternyata benar, maka
yang demikian itu tetap merupakan kesalahn.(HR. Turmudzi).
c.
Ada beberapa riwayat yang
datangnya dari salaf saleh, baik para sahabat maupun tabi’in yang bersikap
membatasi diri dalam menafsirkan al-Quran dengan ra’yu.
Kedua, kelompok
yang membolehkan tafsir bi al-ra’yi, dengan mengemukakan argument sebagai
berikut:[27]
a.
Dalam al-Quran banyak dijumpai
beberapa ayat, baik secara langsung maupun tidak langsung menganjurkan untuk
menggunakan kekuatan akal guna melakukan intidhar, tafakkur, tadzabbur, dan
lain sebagainya. Hai ini diantaranya disinyalir dalam ayat berikut QS.
Muhammad/47:24 dll.
b.
Kedua bahwa Rasulullah SAW pernah
mendo’akan kepada Ibnu Abbas sebagai berikut: “Ya Alllah, berilah pehaman yang
mendalam mengenai agama kepada Ibnu Abbas, dan ajarkanlah Ta’wil.
c.
Kalau seandainya tafsir bi
al-ra’yi tidak diperbolehkan, mengapa ijtihad diperbolehkan? Disisi lain, kalau
tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan pasti banyak sekali hokum-hukum yang
terdapat dalam al-Quran yang tidak tergali, karena Rasulullah Saw sendiri tidak
menafsirkan setiap ayat yang terdapat dalam al-Quran. Demikian juga, seorang mujtahid akan diberi pahala meskipun
salah.
d.
Bahwa para sahabat sendiri
menafsirkan al-Quran dengan penafsiran yang berbeda, dan tidak semua yang
mereka katakan bersumber dari nabi SAW, karena nabi sendiri tidak menjelaskan
semua makana yang terkandung dalam al-Quran.
Dintara kitab tafsir bi
al-ra’yi al-mahmud: Mafatihu al-gaybi karya Fahkru ar-Razi, Anwaru al-Tanzil wa
Asrari al-Ta’wil karya al-Qadhi al-Baydhawi, al-Bahru al-Muhitt karya Abu
Hayyan al-Aluysi, Ghraaibu al-Quran karya wa Raghaaibu al-Furqan karya Nizamu
alDin al-Niisabury, Tafsiru al-Jalailaini karya Jalaluddin al-Mahalli wa
Jalaluddin al-Syauti, Ruuhu al-Ma’ani karya Syihabu al-Din al-Alusyi.[28]
Sedangkan kitab tafsir bi al-ra’yi al- madzmum dibagi menjadi empat:[29]
Pertama, Tafsir Mu’tazilah: Tanziihu al-Quran ‘an al-Ma’taa’in karya al-Qadhi
‘abdu al-Jabbar, al-Kasyaf ‘an haqaiqi al-Tanzil karya al-zhamahsyari. Kedua,
tafsir Syiah Imam 12 belas: Majma’I al-Bayan li ‘Ulumi al-Quran karya al-Fadhil
bin al-Hasan at-Tharbusyi, al-Syafi fi Tafsiri al-Quran karya Malla mahsan
al-Kasyi. Ketiga Tafsir Syi’ah Zindiyyah: Fathu al-Qadhir karya Muhammad
Syaukani, Tafsir ‘Atiyyah bin Muhammad an-Nijrani al-ziidyy. Keempat Tafsir
Khawarij: Hamyan al-Zaadi ‘ila Daari al-Ma’arif karya Muhammad Yusuf Itfayas,
Tafsir Hud bin Muhkam al-Hawary salah satu Ulama abad ketuga.
Corak tafsir sufi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
tafsir sufi al-nazhari dan tafsri sufi al-isyari, yang keduanya mempunyai
karakteristik sendiri.
Untuk tafsir yang pertama
banyak digeluti oleh para penganut tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazhari)
yang didasarkan kepada atas hasil pembahasan dan studi, serta mencoba meneliti
dan mengkaji al-Quran berdasarkan teori madzhab dan untuk melegimitasi terhadap
kebenaran ajaran mereka. Dalam tafsirnya tampak sekali pengaruh-pengaruh
tasawuf teoritis yang didasarkan pemikiran-pemikiran ilmiyah para tokoh sufi
dan kemudian dicarikan justifikasinya.
Mereka berusaha menta’wilkan ayat-ayat al-Quran dengan
pendekatan batini semata, dan mengabaikan terhadap makna tekstualnya. Metode
penafsiran yang demikian ini tidak dapat dibenarkan, karena ibarat orang mengaku
sudah sampai didalam rumah sementara ia tidak melewati pintunya.
Muhy al-Din Ibn ‘Arabi merupakan salah seorang yang dianggap
sebagai guru besar dalam aliran tafsir al-sufi an-nazhari, berikut contoh
penafsirannya dalam ayat QS. Al-Isra’/17:23, yang mana ia mengabaikan segi
tektual ayat, dan lebih mementingkan segi batiniyahnya, yaitu penafsiran yang
berkaitan dengan paham Wihdat al-Wujud:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan
(qadha) supaya kamu jangan menyembah selain Dia.
Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa para ulma’a yang cenderung
melihat pernyataan tekstual dalam al-Quran memberikan arti lafaz qadha dengan “memerintahkan” tetapi saya mengartikan
dengan “memutuskan untuk membuka”.
Lebih lanjut, ketika ia menafsirkan ayat-ayat tersebut mengatakan bahwa orang-orang
musyrik yang menyembah berhala dan patung-patung merupakan cara mereka untuk bisa mendekatkan
diri kepada Allah. Dan karena itulah Allah menjadikan benda-benda yang terlihat
itu sebagai ganti-Nya. Menurut mereka patung-patung sesembahan itu dimaksudkan
sebagai penjelmaan “bentuk” Tuhan. Karena itu Allah memenuhi kebutuhan mereka
pada saat mereka menggunakan perantara berupa benda-benda atau patung-patung
untuk berhubungan denga-Nya.
Sedangkan yang kedua, disandarkan kepada para penganut
tasawwuf praktis (al-tashawwuf al-‘amali), dimana para tokoh ini menamakan
corak tafsirnya dengan tafsir al-Isyari, atau disebut juga denga tafsir
al-Faidhi. Menurut kaum sufi bahwa hakikat al-Quran tidak hanya terbatas dengan
pengertian bersifat lahiriyah saja, tetapi tersirat pula makna batin, yang
justru merupakan makna terpenting. Dari pemaparan tersebut dapat sipahami bahwa
al-Quran mengandung kandungan lahir dan batin. Kandungan lahir adalah yang bisa
dipahami berdasarkan aturan bahasa arab semata-mata, sedangkan kandungan batin
adalah apa yang dikehandaki oleh Allah dibalik lafaz-lafaz dan susunan kalimat
bahasa arab itu.
Para ulama berselilih dengan keberadaan tafsir ini. Ada yang
melarang seperti Imam Al-Zarkasti dan
Imam al-Suyuthi, dan ada pula yang memperbolehkannya seperti al-Taftazani dan
Mahmud Basuni. Para jumhur ulama telah menentukan beberapa syarat untuk
diterimanya tafsir al-Isyari:
a. Tidak boleh bertentangan dengan
makna dzahir dari susunan kalimat ayat-ayat al-Quran.
b. Harus didukung dengan kesyaksian syara’
yang menguatkan.
c. Tidak bertentangan dengan syara’ dan
akal.
d. Tidak mengandung penyelewengan dari
susunan kalimat.
e. Tidak dikatakan secara pasti, bahwa
makna itulah yang dimaksud oleh Allah dalam ayat itu.
Dintara kitab tafsir al-Isyari: Tafsir al-Quran al-‘adzim
karya Sahlu al-tastari, haqaiqu al-Tafsir karya Abu ‘Abdi al-Rahman al-Salma,
‘Araisu al-Bayan fi Haqaiqi al-Quran karya karya Abu Muhammad al-Syirazi.[31]
4.
Tafsir ‘Ilmi (ilmiah)
Maksud dari tafsir ilmy adalah suatu jihad atau usaha keras
seorang mufassir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyyah (al-ayat al-kauniyyah) dalam al-Quran dengan
sains modern yang bertujuan memperliahatkan kemukjizatan al-Quran. Alasan utama
yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini, disamping
banyaknya ayat-ayat al-Quran yang secara
eksplisit maupun implicit yang memerintah manusia untuk menggali ilmu
pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan dalam al-Quran dalam
sains modern, penafsiran al-Quran tradisional kurang mampu memberikan pemahaman
yang memuaskan terhadap pesan tuhan yang saintifik.[32]
Corak tafsir inipun tidak luput dari berdebatan para ulama.
Ada yang menolak dan yang memperbolehkannya. Pada dasarnya penolakan terhadap
tafsir ini, lebih dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kitab suci al-Quran
diturunkan oleh Allah kepada Muhammad, bukanlah untuk menerangkankan tentang
teori-teori ilmiyah, problem-problem seni serta aneka ragam ilmu pengetahuan,
tetapi diturunkan kepada ummat manusi lebih berfungsi sebagai kitab hidayah,
islah, dan tasyri’.[33]
5.
Tafsir Fiqhi (Fiqh)
Tafsir
fiqh adalah corak penafsiran al-Quran yang menitik beratkan bahasanya dan
tinjauannya pada aspek hokum dari al-Quran. Corak ini muncul bersamaan dengan
munculnya tafsir bilmat’sur, dan keberadaannya pun sudah ada sejak zaman nabi
Muhammad SAW. Semasa zaman nabi, ketika mereka menghadapi kesulitan dengan
permasalahan yang mereka hadapi , khususnya masalah hokum, mereka langsung
menanyakannya kepada rasulullah dan beliaupun langsung menjawabnya. Jawaban
Rasulullah ini disatu pihak merupakan tafsir bi al-ma’tsur, dan dilain pihak
merupakan tafsir al-fiqh.[34]
Namun
setelah Rasulullah wafat, ternyata banyak persoalan baru yang muncul dan tidak
pernah terjadi sebelumnya. Sementara itu, kalau mereka tidak menemukan jawaban
dalam al-Quran atas persoalan tersebut, mereka juga melakukan ijtihad sendiri
untuk menetapkan hokum-hukum yang berkaitan dengan hal tersebut. Dan hasil
ijtihad ini yang kemudian disebut tafsir fiqh.
Dan diantara mereka jarang sekali terjadi perbedaan pendapat ketika
menghadapi persoalan hokum yang sifatnya kontradiktif.
Hukum
islam yang mereka gali (istinbat) dari al-Quran itu akhirnya tersebar dan
berkembang, serta dihafal oleh generasi berikutnya secara terus menerus sampai
datangnya era penghimpunan dan penyusunan. Pada era inilah lahirlah orang yang
memperhatikan dan mengkaji produk-produk istinbath itu. Dan dari sinilah pula
lahir madzhab-madzhab yang berbeda dikalangan islam. Dan mereka membuat dasar
hukum masing-masing dalam mazdhabnya, ini bukan karna fanatic dengan madzhab
tetapi karena setiap ahli fiqh berpegang pada apa yang dipandangnya benar.[35]
Dan
diantara kitab tafsir fiqh yang lahir dari mu’tazilah al-kasysaf karya al-zamakhsyari,
dari Hanafiyyah Ruh al-ma’aniy karya alAlusy, dari Malikiyyah al-Jami’ li Ahkam
al-Quran karya al-Qurthubi, dan dari Syafi’iah al-Tafsir al-Kabir (mafatih
al-Ghaib) karya al-Fakhr al-Din al-Raziy.
Tafsir al-Falsafy adalah penafsiran ayat-ayat al-Quran berdasarkan
pendekatan-pendekatan filsofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis
dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat dan ayat-ayat al-Quran maupun
berusaha menolak teori-teori filsafat yang bertentangan dengan ayat-ayat
al-Quran. Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan kebudayaaan, dan adanya gerakan penerjemahan buku-buku
asing kedalam bahasa arab pada masa khalifah Abasiyyah.
Dalam menghadapi ini kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok:
a.
Kelompok yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku yang bersal
dari filosof tersebut. Hal ini dikarenakan ada sebagian yang bertentang dengan
agama. Diantaranya Hujjah al-Islam,Imam Hamid al-Gzhali, Imam Fakhru al-Din
al-Razi yang menulis tafsir untuk menolak paham mereka, yaitu Mafatihul
al-Ghaib.
b.
Kelompok yang menerima filsafat bahkan mengaguminya. Menurut mereka,
selama filsafat tidak bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada larangan
menerimanya. Dan mereka berusaha memadukan antara al-Quran dan Filsafat serta
menghilangkan pertentangan diantara mereka. Diantaranya Filsuf Ibnu Rusyd yang
menulis buku Tahafut al-tahafut sebagai sangahan dari buku Tahafut al-falasifah
karya al-Ghazali.
Berkaitan dengan golongan ini Imam al-Dzhabi
menanggapinya dengan berikut ini: “kami tidak pernah mendengar seorang filosof
yang mengagung-agungkan filsafat mengarang sebuah kitab tafsir al-Quran yang
lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman
mereka terhadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku filsafat
mereka”.
Tafsir al-Adabi
al-Ijtima’iy (sastra) adalah suatu cabang yang muncul mada masa modern ini,
yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Quran dengan cara yang
pertama dan utama mengungkapkan ungkapan-ungkapan al-Quran secara teliti,
selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Quran tersebut senga
gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemidaian seorang mufassir berusaha
menghubungkan nash-nash al-Quran yang dikaji dengan kenyataan social dan system
budaya yang ada.
Jenis tafsir ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan
para mufassir yang memandang bahwa selama ini penafsiran al-Quran hanya
didominasi oleh tafsir yang berorientasi pada nahwu, bahasa, san perbedaan
madzhab dan lain sebagainya, sehingga jarang sekali menyentuh inti dari
al-Quran sebagai sasaran dan tujuan akhir.
Secara operasinal seorang mufassir jenis ini tidak mau terjebak
pada kajian pengertian bahasa yang rumit, istilah-istilah ilmu teknologi,
kecuali jika dirasakan sangat dibutuhkan. Bagi mereka yang terpenting adalah
bagaimana dapat menyajikan misi al-Quran kepada pembaca, dan mereka berusaha
mengaitkan nash-nash dengan realitas kehidupan masyrakat tradisional dan system
peradaban yang secara fungsional dapat memevahkan persoalan ummat.
Dintara kitab dengan corak ini: Tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh yang dihimpun oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir
al-Quran karya Syekh Ahmad al Maraghi, Tafsir al-Quran al-Karim karya Syekh
Mahmud Syaltut, Tafsir al-Wadhih karya Mahmud Hijazy.
D. Penutup
Dari pembahasan singkat diatas, bisa kita angkat bahwa al-Quran
adalah kitab yang Mu’jizah, yang mana darinyalah lahir disiplin-disiplin ilmu,
dan salah satunya adalah tafsir.
Kita juga bisa menyimpulkan, bahwa latarbelakang keilmuan,
keadaan, dan madzhab seorang Mufassir akan melahirkan sebuah corak yang berbeda.
Yang telah dibuktikan dengan beberapa corak-corak Tafsir diatas.
DAFTAR PUSTAKA
al-Dzahabi,
Muhammad Husain, ‘Ilmu at-Tafsir, (al-Qaahirah:
Daaru al-Ma’arif).
az-Zarqani,
Muhammad Abdul
azhim, Manahilul Irfan Fii Ulumul Qur’an,
jilid II (Beirut: Daarul Kitab al-‘Arabiy, 1415 H- 1995 M), cetakan I.
al-Qattaan, Manna’u, Mabahis Fii ‘Ulumu Al-quran,
(Al-qahiroh: Maktabah Wahbah, 2000 M), Cetakan Ketiga.
Baidan,
Nashruddin, Perkembangan Tafsir
al-Qur’an di Indonesia, (Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003)
Hasan dan Nawawi, Drs. Rif’at Syauqi dan
Drs. M. Ali, Pengantar Ilmu Tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), cetakan II.
Nor Ichwan, Mohammad, Tafsir Ilmiy,
(Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2004 H), Cetakan I.
Riddel,
Petter G, dengan editor Kusmana dan Syamsuri , Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian,
(Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2004)
http://makalahratih.blogspot.com/2013/02/macam-macam-corak-tafsir.html?=1,
di unggah hari Rabu, 06 Februari 2013
[1] Manna’u al-Qattaan, Mabahis Fii ‘Ulumu Al-quran,
(Al-qahiroh: Maktabah Wahbah, 2000 M), Cetakan Ketiga, p. 20
[4] Drs. Rif’at Syauqi Nawawi dan
Drs. M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), cetakan II, p. 139
[5] Ibid, p. 139
[8] Ibid, p. 141-142
[9] Muhammad Abdul
azhim az-Zarqani, Manahilul Irfan Fii
Ulumul Qur’an, jilid II (Beirut: Daarul Kitab al-‘Arabiy, 1415 H- 1995 M),
cetakan I, p. 3
[11] Petter G.
Riddel, dengan editor Kusmana dan Syamsuri , Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian,
(Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2004), p. 210
[12] Al-Quran dan Terjemahnya, p. 29
[13] Nashruddin
Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di
Indonesia, (Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003) hal. 79
[14]
Al-Quran dan Terjemahnya,
p. 29
[16] http://makalahratih.blogspot.com/2013/02/macam-macam-corak-tafsir.html?=1, di upload hari
Rabu, 06 Februari 2013
[17] Mohammad Nor Ichwan, Tafsir
Ilmiy, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2004 H), Cetakan I, p. 78
[18] Ibid,
[21] Ibid,p. 89 - 90
[26] Ibid,p. 94 - 96
[27] Ibid,p. 97 - 98
[29] Ibid,p. 67 - 69
[34] Ibid,p. 113
[35] Ibid,p. 115
[36] Ibid,p. 115-116
[37] Ibid,p. 116-117