Al-Qindi dan
Pemikiran Filsafatnya
oleh: Ashraf
Ushuludin Tafsir 6
I.
PENDAHULUAN
Secara sederhana
filsafat dafat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan
dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, sejalan
dengan pengertian ini, Musya Asy’ari menulis, filsafat adalah berpikir bebas,
radikal, dan berada pada dataran makna.[1]
Ketika pertama kali
filsafat dikenal, banyak sekali orang-orang yang tertarik untuk berfilsafat,
sehingg filsafat berkembang dengan cepat keseluruh peradaban dunia. Tidak
terkecuali dengan islam, yang pada masa kejayaannya menjadi pusat peradaban
dunia.
Filsafat islam muncul
karena adanya kontak antara islam dan pemikiran islam dengan budaya asing,
kususnya Yunani.[2]
Filasafat
Islam di bagian Timur Dunia Islam (Masyriqi) berbeda dengan filsafat
Islam di Maghribi ( bagian Dunia Barat). Di antara filosof Islam di
kedua kawasan terdapat sebuah perselisihan pendapat tentang berbagai
pokok pengertian. Di Timur ada filosof terkemuka, al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu
Sina. Di Barat juga ada filosof terkemuka, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu
Rusyd.
Wajar saja jika filososf filsafat Islam muncul
terlebih dahulu di bagian Timur sebelum di bagian Barat. Sebagai akibat adanya
peradaban yang berpusat di Syam dan Persia setelah sebelumnya berpusat di
Athena dan Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai daerah
Persia, Syam, dan Mesir. Kemudian pusat kekhalifaan pindah dari Hijaz (Madinah)
ke Damaskus (Syam) ketika kekhalifaan di kuasai oleh bani Ummayah.Hingga
datangnya kekuasaan orang-orang Bani Abbas, setelah para penguasa daulat
Abbasyiah membangun kota Baghdad, dua kota pusat kebudayaan Islam Bashrah
dan Kufah berpindah ke kota Baghdad. Sejak itu Baghdad menjadi pusat
kekhalifaan di samping menjadi pusat kegiatan ilmu, filsafat dan
peradaban.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran
sedang berkembang pesat, muncullah seorang filosof Arab atau filosof Islam:
Ya’qub bin Ishaq al- Kindi. Dia seorang filosf peradaban Islam pada abad ke-3
Hijriyah.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Siapakah
al-Kindi itu?
B.
Bagaimana
pokok-pokok pemikiran filsafat al-Kindi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Hidupnya
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq
As-Shabbah bin 'Imran bin Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi. Ia
dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M). Ia termasuk keluarga yang kaya
dan terhormat. Kakek buyutnya bernama Al-Asy’ats ibnu Qays yakni seorang
sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai Syuhada bersama sa’ad ibnu Abi
Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak. Sedangkan
ayahnya bernama Ishaq ibnu As-Shabbah yakni seorang Gubernur di Kufah pada masa
pemerintahan Al-Mahdi (tahun 775-785 M) dan Al-Rasyid (tahun 786-809 M). namun
ayahnya meninggal ketika ia masih usia anak-anak.[3]
Al-kindi adalah filsof Arab pertama yang
memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filsof
Yunani di dunia Islam. Al-kindi dalam atmosfer intlektualisme yang dinamis saat
itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang bergam disiplin ilmu
pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan
sebagainya. Al-kindi tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga
menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan
astronomi. Al-kindi meninggal pada 866M/252 H.
[4]
Kalau diperhatikan dari tahun kelahiran al-Kindi, kita
dapat membuat sebuah kesimpulan bahwa ia hidup pada masa kekuasaan Bani ‘Abbas.
Pada masa kecil ia telah merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.
Al Kindi sudah menjadi Yatim sejak ia masih berusia kanak-kanak, namun ia tetap
memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik. Al Kindi sendiri
mengalami masa pemerintahan lima Khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813
M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan
Al-Mutawakkil (847-861 M).[5]
B.
Pokok-pokok
Pemikiran Filsafat al-Kindi
Menurut al-kindi, agama dan filsafat
tidak mungkin bertentangan.[6]
Agama di samping sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan filsafat juga
menggunakan akal. Dalam hal ini filsafat juga membahas tentang tuhan dan agama.
Dan filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang tuhan (seperti fisafat
skolastik). Bagi al-kindi orang yang menolak filsafat bisa dianggap kafir, karena
dia telah jauh dari kebenaran, meskipun dirinya menganggap paling benar. Dan pemikiran al-kindi ini terkontaminasi dengan
para pemikir, mutakallimin, dan filsof pada masanya khususnya kelompok
Mu’tazilah, walaupun ia juga sangat dipengaruhi iloh filsafat Yunani, akan
tetapi ia tetap mempertahankan prinsp-prinsip dasar dalam Islam sebagai agama.[7]
Adapun
sebab-sebab yang membuat al-kindi berpendapat bahwa agama
dan filsafat tidak mungkin bertentangan:[8]
1.
Al-quran membawa banyak informasi dan berita tentang
penciptaan dan pencipta, sehingga membuat akal manusia terbangun dari kelalaian
untuk mentadaburi, melihat dan mentafsirkannya.
2.
Filsafat di zaman al-kindi dianggap suatu hal yang
membuat ragu dan bimbang.
3.
Al-kindi menemukan banyak ilmu karena kesibukannya dengan
filsafat.
Al-kindi juga berpendapat agama
yang bersumber dari wahyu ilahi mengandung kebenaran yang dituangkan untuk
manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran yang didasarkan pada pencarian
manusia. Sehingga ujung dari keduanya adalah kebenaran. Bagi Al-kindi, ke
benaran yang dibawa oleh agama lebih positif dan meyakinkan daripada kebenaran
filsafat, walaupun agama harus memakai filsafat untuk lebih memperjelas, tapi
sifatnya hanya membuka selubung dari barang yang telah ada, oleh sebab itu
menurut al-kindi filsafat dan agama harus berjalan seiring. Al-kindi juga
mengatakan bahwa siapa yang mengatakan filsafat bertentangan dengan agama
berati dialah yang tidak beragama.
1. Tentang Metafisika
Pokok filsafat metafisika al-kindi terdapat pada
konsep tentang mahiyah, atau subtansi, atau apa yang hakiki. Mahiyah
membicarakan tentang al-haq al-ahwal, atau kebenaran pertama yang menjadi sebab
bagi semua yang maujud. Al-kindi membedakan yang wujud menjadi dua: Pertama,
wujud yang wajib (al-wajibul wujud), Kedua, wujud yang kukmin (al-mukmin
wujud). Wujud yang wajib adalah wujud yang ada dengan sendirinya, tidak
disebabkan oleh yang lainnya. Ia adalah Allah. Sedangkan wujud yang mukmin
adalah wujud yang oleh lainnya. Alam atau asal alam (al-huyala) adalah mukmin.
Ia tidak wujud dengan sendirinya melainkan dengan yang lainnya. Kerena itu alam
ini baru, keberadaan dan kelangsungannya tergantung pada wujud yang lain.[9]
a. Barunya Tuhan, alam ini baru dan
permulaan waktunya karena alam ini terbatas, oleh karena itu pasti ada yang
menyebabkan alam ini tercipta, tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Maka
ia diciptakan oleh penciptanya yaitu Tuhan.
b. Keanekaragaman dalam alam, dalam alam
tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau sebaliknya. Tergabungnya
keragaman dan keseragaman bersama-sama bukanlah kerena kebetulan tapi kerena
sesuatu sebab, dan sebab pertamanya adalah Tuhan.
c. Kerapian alam, tidak mungkin terjadi
tanpa ada yang merapikan atau mengaturnya, yang merapikan lam itu adalah Tuhan.
2. Tentang Jiwa dan Akal
Al-kindi
juga menyinggung soal jiwa manusia, menurutnya jiwa
tidak tersusun, subtansinya adalah ruh yang berasal dari subtansi tuhan. Dalam
hal jiwa, al-kindi lebih dekat dengan pandangan plato yang mengatakan bahwa
hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). al-kindi
berbeda dari aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan
Menurut al-kindi, jiwa memiliki 3 daya: Jiwa
bernafsu (asy-syahwaniyyah), jiwa memarah (al-ghadhabiyyah), jiwa berakal
(al-‘aqliyyah).[11]
Dan al-kindi juga menjadi akal menjadi empat:[12]
a. Akal Awwal yang abadi yang berada diatas akal manusia.
Akal ini bersifat memberi. Akal Awwal adalah Tuhan.
b. Akal potensial yang memiliki potensi menerima sesuatu
dari akal awal, dan menerima darinya ia menjadi akal actual.
c. Akal mustafad yang kerjanya sebagai penghubung atau
mengalihkan dari akal awal ke akal potensial. Pemberian dari Akal awal ke akal
potensial tidaklah langsung, melainkankan dengan akal mustafad ini.
d. Akal aktual adalah akal potensial yang telah menerima
sesuatu dari akal awal berubah menjadi akal aktual. Selain itu ada juga akal
lain yang disebut akal sekunder (akal tsani) akal ini adalah akal yang dekat
dengan indra. Indra menangkap obyek-obyek eksternal yang metrial dan
menyerahkan hasil tangkapannya kepada akal skunder, dan akal ini kemudian
menyimpannya ketika obyek-obyek indrawi itu sudah hilang darinya.
3. Sifat Tuhan
Pemikiran al-kindi tentang sifat Tuhan
mengikuti pendirian kaum Mu’tazilah, yaitu Keesaan, Maha Tahu, Berkuasa, Naha
Hidup dll. Al-kindi membukti Keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa ia bukan
benda, tidak berkualitas, tidak berubah, tidak bergerak dan tidak berhubungan
denga yang lain karena itu pula Tuhan bersifat azali yaitu zat yang sama sekali
tidak bisa dikatakan pernah tidak ada atau pada permulaannya ada, melainkan zat
yang ada dan wujudkannya tidak tergantung pada yang lainnya atau pada sebab.[13]
IV.
KESIMPULAN
Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran bin
Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi seorang filsof islam berasal dari suku kindah zang lahir di kufah. Pada
saat dewasa ia mempelajari berbagai macam ilmu, seperti ilmu filsafat, seni,
kedokteran, optic, dan lain sebagainya. Al-kindi memadukan filsafat dengan
agama, karena ilmu itu tidak bertentangan dan karena masing-masing mempelajari
kebenaran.
Pemikiran filsafat tentang
ketuhanan al-kindi tidak sama dengan apa yang dikemukakan oleh aristoteles.
Bagi al-kindi Tuhan adalah Sang pencipta bukan penggerak pertama. Al-kindi
membagi jiwa dalam tiga macam: jiwa memarah, jiwa bernafsu, jiwa berakal.
Kemudian ia membagi akal menjadi empat: Akal
awwal, akal potensial, akal mustafad, dan akal aktual.
V.
PENUTUP
Demukianlah makalah
dari saya, semoga bermanfaat bagi pembaca. Saya menyadari bahsanya makalah yang
saya buat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya selaku penulis makalah
meminta saran dan kritik dari pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.
Daptar
Pustaka
Bahasa Arab :
زيدة،
محمد عبد الهادي أبو، رسائل الكندي الفلسفة، القاهرة، دار الفكري العربي،
1369
الأهوانى، احمد فؤادى، الفلسفة
العربية، القاهرة، دار القلم، 1962، ص 63
أحمد، الأستاد هناء عبده سليمان، أثر المعتزلة في
فلسفة الإلهية عند الكندي، الطبعة الأولي، القاهرة، مكتبة الثقافة الدينية،
1425
الأهوانى، احمد فؤادى، الكندي
فيلسوف العرب، مؤسسة المصرية العامة، القاهرة،
Bahasa Indonesia:
Bahroni,
Imam, Meneladani Tokoh Muslim Dunia, (Gontor, Darussalam (Gontor,
Darussalam University Press (DUP)
Muslih, Mohammad, Filsafat
Ilmu, cetakan keenam, (Yogyakarta, Belukar, 2010)
Tim
Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Surabaya, Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikir Islam, (Surabaya, CV. Anika Bahagia Offset, 1995)
[6]
الأستاد هناء عبده سليمان أحمد، أثر المعتزلة في
فلسفة الإلهية عند الكندي، الطبعة الأولي، (القاهرة، مكتبة الثقافة الدينية،
1425)، ص 28
[9] Tim
Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Surabaya, Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikir Islam, (Surabaya,
CV. Anika Bahagia Offset, 1995), p.
80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar