Sabtu, 03 Oktober 2015

Al-Qindi dan pemikiran Filsafatnya

Al-Qindi dan Pemikiran Filsafatnya
oleh: Ashraf
Ushuludin Tafsir 6



I.         PENDAHULUAN

Secara sederhana filsafat dafat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, sejalan dengan pengertian ini, Musya Asy’ari menulis, filsafat adalah berpikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna.[1]
Ketika pertama kali filsafat dikenal, banyak sekali orang-orang yang tertarik untuk berfilsafat, sehingg filsafat berkembang dengan cepat keseluruh peradaban dunia. Tidak terkecuali dengan islam, yang pada masa kejayaannya menjadi pusat peradaban dunia.
Filsafat islam muncul karena adanya kontak antara islam dan pemikiran islam dengan budaya asing, kususnya Yunani.[2] Filasafat Islam di bagian Timur Dunia Islam (Masyriqi) berbeda dengan filsafat Islam di Maghribi ( bagian Dunia Barat). Di antara filosof Islam di kedua kawasan terdapat sebuah perselisihan  pendapat tentang berbagai  pokok pengertian. Di Timur ada filosof terkemuka, al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina. Di Barat juga ada filosof terkemuka, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd.
Wajar saja jika filososf filsafat Islam muncul terlebih dahulu di bagian Timur sebelum di bagian Barat. Sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di Syam dan Persia setelah sebelumnya berpusat di Athena dan Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai daerah Persia, Syam, dan Mesir. Kemudian pusat kekhalifaan pindah dari Hijaz (Madinah) ke Damaskus (Syam) ketika kekhalifaan di kuasai oleh bani Ummayah.Hingga datangnya kekuasaan orang-orang Bani Abbas, setelah para penguasa daulat Abbasyiah membangun kota Baghdad, dua kota pusat kebudayaan Islam  Bashrah dan Kufah berpindah ke kota Baghdad. Sejak itu Baghdad menjadi pusat kekhalifaan di samping menjadi pusat  kegiatan ilmu, filsafat dan peradaban.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran sedang berkembang pesat, muncullah seorang filosof Arab atau filosof Islam: Ya’qub bin Ishaq al- Kindi. Dia seorang filosf peradaban Islam pada abad ke-3 Hijriyah.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.     Siapakah al-Kindi itu?
B.      Bagaimana pokok-pokok pemikiran filsafat al-Kindi?

III.   PEMBAHASAN
A.      Sejarah Hidupnya
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran bin Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M). Ia termasuk keluarga yang kaya dan terhormat. Kakek buyutnya bernama Al-Asy’ats ibnu Qays yakni seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai Syuhada bersama sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya bernama Ishaq ibnu As-Shabbah yakni seorang Gubernur di Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (tahun 775-785 M) dan Al-Rasyid (tahun 786-809 M). namun ayahnya meninggal ketika ia masih usia anak-anak.[3]
Al-kindi adalah filsof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filsof Yunani di dunia Islam. Al-kindi dalam atmosfer intlektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang bergam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan sebagainya. Al-kindi tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Al-kindi meninggal pada 866M/252 H. [4]
Kalau diperhatikan dari tahun kelahiran al-Kindi, kita dapat membuat sebuah kesimpulan bahwa ia hidup pada masa kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecil ia telah merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Al Kindi sudah menjadi Yatim sejak ia masih berusia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik. Al Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima Khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[5]




B.       Pokok-pokok Pemikiran Filsafat al-Kindi
Menurut al-kindi, agama dan filsafat tidak mungkin bertentangan.[6] Agama di samping sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Dalam hal ini filsafat juga membahas tentang tuhan dan agama. Dan filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang tuhan (seperti fisafat skolastik). Bagi al-kindi orang yang menolak filsafat bisa dianggap kafir, karena dia telah jauh dari kebenaran, meskipun dirinya menganggap paling benar. Dan pemikiran al-kindi ini terkontaminasi dengan para pemikir, mutakallimin, dan filsof pada masanya khususnya kelompok Mu’tazilah, walaupun ia juga sangat dipengaruhi iloh filsafat Yunani, akan tetapi ia tetap mempertahankan prinsp-prinsip dasar dalam Islam sebagai agama.[7]
Adapun sebab-sebab yang membuat al-kindi berpendapat bahwa agama dan filsafat tidak mungkin bertentangan:[8]
1.         Al-quran membawa banyak informasi dan berita tentang penciptaan dan pencipta, sehingga membuat akal manusia terbangun dari kelalaian untuk mentadaburi, melihat dan mentafsirkannya.
2.         Filsafat di zaman al-kindi dianggap suatu hal yang membuat ragu dan bimbang.
3.         Al-kindi menemukan banyak ilmu karena kesibukannya dengan filsafat.
Al-kindi juga berpendapat agama yang bersumber dari wahyu ilahi mengandung kebenaran yang dituangkan untuk manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran yang didasarkan pada pencarian manusia. Sehingga ujung dari keduanya adalah kebenaran. Bagi Al-kindi, ke benaran yang dibawa oleh agama lebih positif dan meyakinkan daripada kebenaran filsafat, walaupun agama harus memakai filsafat untuk lebih memperjelas, tapi sifatnya hanya membuka selubung dari barang yang telah ada, oleh sebab itu menurut al-kindi filsafat dan agama harus berjalan seiring. Al-kindi juga mengatakan bahwa siapa yang mengatakan filsafat bertentangan dengan agama berati dialah yang tidak beragama.
1.      Tentang Metafisika
          Pokok filsafat metafisika al-kindi terdapat pada konsep tentang mahiyah, atau subtansi, atau apa yang hakiki. Mahiyah membicarakan tentang al-haq al-ahwal, atau kebenaran pertama yang menjadi sebab bagi semua yang maujud. Al-kindi membedakan yang wujud menjadi dua: Pertama, wujud yang wajib (al-wajibul wujud), Kedua, wujud yang kukmin (al-mukmin wujud). Wujud yang wajib adalah wujud yang ada dengan sendirinya, tidak disebabkan oleh yang lainnya. Ia adalah Allah. Sedangkan wujud yang mukmin adalah wujud yang oleh lainnya. Alam atau asal alam (al-huyala) adalah mukmin. Ia tidak wujud dengan sendirinya melainkan dengan yang lainnya. Kerena itu alam ini baru, keberadaan dan kelangsungannya tergantung pada wujud yang lain.[9]
          Al-kindi membuktikan wujud Tuhan dengan menggunakan 3 alasan yaitu:[10]
a.       Barunya Tuhan, alam ini baru dan permulaan waktunya karena alam ini terbatas, oleh karena itu pasti ada yang menyebabkan alam ini tercipta, tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Maka ia diciptakan oleh penciptanya yaitu Tuhan.
b.      Keanekaragaman dalam alam, dalam alam tidak mungkin ada keragaman tanpa keseragaman atau sebaliknya. Tergabungnya keragaman dan keseragaman bersama-sama bukanlah kerena kebetulan tapi kerena sesuatu sebab, dan sebab pertamanya adalah Tuhan.
c.       Kerapian alam, tidak mungkin terjadi tanpa ada yang merapikan atau mengaturnya, yang merapikan lam itu adalah Tuhan.

2.      Tentang Jiwa dan Akal
          Al-kindi juga menyinggung soal jiwa manusia, menurutnya jiwa tidak tersusun, subtansinya adalah ruh yang berasal dari subtansi tuhan. Dalam hal jiwa, al-kindi lebih dekat dengan pandangan plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). al-kindi berbeda dari aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan Menurut al-kindi, jiwa memiliki 3 daya:  Jiwa bernafsu (asy-syahwaniyyah), jiwa memarah (al-ghadhabiyyah), jiwa berakal (al-‘aqliyyah).[11] Dan al-kindi juga menjadi akal menjadi empat:[12]
a.       Akal Awwal yang abadi yang berada diatas akal manusia. Akal ini bersifat memberi. Akal Awwal adalah Tuhan.
b.      Akal potensial yang memiliki potensi menerima sesuatu dari akal awal, dan menerima darinya ia menjadi akal actual.
c.       Akal mustafad yang kerjanya sebagai penghubung atau mengalihkan dari akal awal ke akal potensial. Pemberian dari Akal awal ke akal potensial tidaklah langsung, melainkankan dengan akal mustafad ini.
d.      Akal aktual adalah akal potensial yang telah menerima sesuatu dari akal awal berubah menjadi akal aktual. Selain itu ada juga akal lain yang disebut akal sekunder (akal tsani) akal ini adalah akal yang dekat dengan indra. Indra menangkap obyek-obyek eksternal yang metrial dan menyerahkan hasil tangkapannya kepada akal skunder, dan akal ini kemudian menyimpannya ketika obyek-obyek indrawi itu sudah hilang darinya.
  
3.      Sifat Tuhan
             Pemikiran al-kindi tentang sifat Tuhan mengikuti pendirian kaum Mu’tazilah, yaitu Keesaan, Maha Tahu, Berkuasa, Naha Hidup dll. Al-kindi membukti Keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa ia bukan benda, tidak berkualitas, tidak berubah, tidak bergerak dan tidak berhubungan denga yang lain karena itu pula Tuhan bersifat azali yaitu zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah tidak ada atau pada permulaannya ada, melainkan zat yang ada dan wujudkannya tidak tergantung pada yang lainnya atau pada sebab.[13] 


IV.   KESIMPULAN
Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran bin Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi seorang filsof islam berasal dari suku kindah zang lahir di kufah. Pada saat dewasa ia mempelajari berbagai macam ilmu, seperti ilmu filsafat, seni, kedokteran, optic, dan lain sebagainya. Al-kindi memadukan filsafat dengan agama, karena ilmu itu tidak bertentangan dan karena masing-masing mempelajari kebenaran.
Pemikiran filsafat tentang ketuhanan al-kindi tidak sama dengan apa yang dikemukakan oleh aristoteles. Bagi al-kindi Tuhan adalah Sang pencipta bukan penggerak pertama. Al-kindi membagi jiwa dalam tiga macam: jiwa memarah, jiwa bernafsu, jiwa berakal. Kemudian ia membagi akal menjadi empat: Akal awwal, akal potensial, akal mustafad, dan akal aktual.

V.      PENUTUP
Demukianlah makalah dari saya, semoga bermanfaat bagi pembaca. Saya menyadari bahsanya makalah yang saya buat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya selaku penulis makalah meminta saran dan kritik dari pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.
Daptar Pustaka
Bahasa Arab :
زيدة، محمد عبد الهادي أبو، رسائل الكندي الفلسفة، القاهرة، دار الفكري العربي، 1369
الأهوانى، احمد فؤادى، الفلسفة العربية، القاهرة، دار القلم، 1962، ص 63
أحمد، الأستاد هناء عبده سليمان، أثر المعتزلة في فلسفة الإلهية عند الكندي، الطبعة الأولي، القاهرة، مكتبة الثقافة الدينية، 1425
الأهوانى، احمد فؤادى، الكندي فيلسوف العرب، مؤسسة المصرية العامة، القاهرة،
Bahasa Indonesia:
Bahroni, Imam, Meneladani Tokoh Muslim Dunia, (Gontor, Darussalam (Gontor, Darussalam University Press (DUP)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, cetakan keenam, (Yogyakarta, Belukar, 2010)
Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Surabaya, Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikir Islam, (Surabaya, CV. Anika Bahagia Offset, 1995)





[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, cetakan keenam, (Yogyakarta, Belukar, 2010), p. 21
[2] محمد عبد الهادي أبو زيدة، رسائل الكندي الفلسفة،( القاهرة، دار الفكري العربي، 1369)، ص 21
[3] احمد فؤادى الأهوانى، الفلسفة العربية، (القاهرة، دار القلم، 1962)، ص 63
[4] Imam Bahroni, Meneladani Tokoh Muslim Dunia, (Gontor, Darussalam University Press (DUP), p.  41
[5] احمد فؤادى الأهوانى, op.cit., p. 63
[6] الأستاد هناء عبده سليمان أحمد، أثر المعتزلة في فلسفة الإلهية عند الكندي، الطبعة الأولي، (القاهرة، مكتبة الثقافة الدينية، 1425)، ص 28
[7] Ibid, p. 23
[8] Ibid, p. 27
[9] Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Surabaya, Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikir Islam, (Surabaya, CV. Anika Bahagia Offset, 1995), p. 80
[10] Imam Bahroni, op.cit., p. 43
[11]احمد فؤادى الأهوانى، الكندي فيلسوف العرب، (مؤسسة المصرية العامة، القاهرة، دون السنة)، ص 237
[12] Tim Penyusun Teks Book Dirasat Islamiyah IAIN Surabaya, op.cit., p.  82
[13] Imam Bahroni, op.cit., p. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar